GANGGUAN SISTEM PERKEMIHAN
BAB
I
PENDAHULUAN
1. Latar
Belakang
Sistem
perkemihan merupakan sistem pengeluaran zat-zat metabolisme tubuh yang tidak
berguna lagi bagi tubuh yang harus dikeluarkan (dieliminasi) dari dalam tubuh
karena dapat menjadi racun. proses eliminasi ini dapat dibagi menjadi eliminasi
unrine (buang air kecil) dan eliminasi alvi (buang air besar).
Gangguan
saluran kemih adalah gangguan dari kandung kemih atau uretra. Ginjal, Uretra,
kandung kemih adalah organ-organ yang menyusun saluran kemih. Fungsi utama dari
saluran ini adalah untuk membuang air dan sisa metabolisme dan mengeluarkannnya
sebagai urin.
Proses
ini berlangsung terus. Hanya pada kasus luka, infeksi atau penyakit pada organ
dari saluran kemih, fungsinya menjadi terganggu dan karenanya menganggu biokimia
dari aliran bawah. Ginjal adalah organ vital penyangga kehidupan.
2. Tujuan
o
Mahasiswa mampu memahami
gangguan-gangguan system perkemihan yang terjadi pada lansia
o
Mahasiswa mampu membuat dan memberikan
asuhan keperawatan
BAB
II
TINJAUAN
TEORITIS
1.
Perubahan Sistem Ginjal Pada Lanjut Usia
Pada
lansia ginjal berukuran lebih kecil dibanding dengan ginjal pada usia muda.
Pada usia 90 tahun beratnya berkurang 20-30% atau 110-150 gram bersamaan dengan
pengurangan ukuran ginjal.
Pada
studi kasus dari McLachlan dan Wasserman tentang panjang, luas dan kemampuan
untuk berkembang dari ginjal yang mendapat urogram i.v, mereka menemukan bahwa
panjang ginjal berkurang 0,5 cm per dekade setelah mencapai usia 50 tahun.
Dengan bertambahnya usia, banyak jaringan yang hilang dari korteks ginjal,
glomerulus dan tubulus. Jumlah total glomerulus berkurang 30-40% pada usia 80
tahun, dan permukaan glomerulus berkurang secara progresif setelah 40 tahun,
dan yang terpenting adalah terjadi penambahan dari jumlah jaringan sklerotik.
Meskipun kurang dari 1% glomerulus sklerotik pada usia muda, persentase ini
meningkat 10-30% pada usia 80 tahun.
Terdapat
beberapa perubahan pada pembuluh darah ginjal pada lansia. Pada korteks ginjal,
arteri aferen dan eferen cenderung untuk atrofi yang berarti terjadi
pengurangan jumlah darah yang terdapat di glomerulus. Atrofi arteri aferen dan
eferen pada jukstaglomerulus terjadi tidak simetris sehingga timbul fistel.
Jadi ketika aliran darah di korteks berkurang, aliran di jukstaglomerular akan
meningkat. Ini berpengaruh pada konsentrasi urin yang berkurang pada usia
lanjut akibat gangguan pengaturan sistem keseimbangan.
2.
Perubahan aliran darah ginjal pada
lanjut usia
Ginjal
menerima sekitar 20% dari aliran darah jantung atau sekitar 1 liter per menit
darah dari 40% hematokrit, plasma ginjal mengalir sekitar 600 ml/menit.
Normalnya 20% dari plasma disaring di glomerulus dengan GFR 120 ml/menit atau
sekitar 170 liter per hari. Penyaringan terjadi di tubular ginjal dengan lebih
dari 99% yang terserap kembali meninggalkan pengeluaran urin terakhir 1-1,5
liter per hari.
Dari
beberapa penelitian pada lansia yang telah dilakukan, memperlihatkan bahwa
setelah usia 20 tahun terjadi penurunan aliran darah ginjal kira-kira 10% per
dekade, sehingga aliran darah ginjal pada usia 80 tahun hanya menjadi sekitar
300 ml/menit. Pengurangan dari aliran darah ginjal terutama berasal dari
korteks. Pengurangan aliran darah ginjal mungkin sebagai hasil dari kombinasi
pengurangan curah jantung dan perubahan dari hilus besar, arcus aorta dan
arteri interlobaris yang berhubungan dengan usia.
2. Perubahan fungsi ginjal pada lanjut usia
Pada
lansia banyak fungsi hemostasis dari ginjal yang berkurang, sehingga merupakan
predisposisi untuk terjadinya gagal ginjal. Ginjal yang sudah tua tetap
memiliki kemampuan untuk memenuhi kebutuhan cairan tubuh dan fungsi hemostasis,
kecuali bila timbul beberapa penyakit yang dapat merusak ginjal.
Penurunan
fungsi ginjal mulai terjadi pada saat seseorang mulai memasuki usia 30 tahun
dan 60 tahun, fungsi ginjal menurun sampai 50% yang diakibatkan karena
berkurangnya jumlah nefron dan tidak adanya kemampuan untuk regenerasi.
Beberapa hal yang berkaitan dengan faal ginjal pada lanjut usia antara lain :
(Cox, Jr dkk, 1985)
a. Fungsi
konsentrasi dan pengenceran menurun.
b. Keseimbangan
elektrolit dan asam basa lebih mudah terganggu bila dibandingkan dengan usia
muda.
c. Ureum
darah normal karena masukan protein terbatas dan produksi ureum yang menurun.
Kreatinin darah normal karena produksi yang menurun serta massa otot yang
berkurang. Maka yang paling tepat untuk menilai faal ginjal pada lanjut usia
adalah dengan memeriksa Creatinine Clearance.
d. Renal
Plasma Flow (RPF) dan Glomerular Filtration Rate (GFR) menurun sejak usia 30 tahun.
3.
Perubahan laju filtrasi glomerulus pada
lanjut usia
Salah
satu indeks fungsi ginjal yang paling penting adalah laju filtrasi glomerulus
(GFR). Pada usia lanjut terjadi penurunan GFR. Hal ini dapat disebabkan karena
total aliran darah ginjal dan pengurangan dari ukuran dan jumlah glomerulus.
Pada beberapa penelitian yang menggunakan bermacam-macam metode, menunjukkan
bahwa GFR tetap stabil setelah usia remaja hingga usia 30-35 tahun, kemudian
menurun hingga 8-10 ml/menit/1,73 m2/dekade.
Penurunan
bersihan kreatinin dengan usia tidak berhubungan dengan peningkatan konsentrasi
kreatinin serum. Produksi kreatinin sehari-hari (dari pengeluaran kreatinin di
urin) menurun sejalan dengan penurunan bersihan kreatinin.
4.
Perubahan pengaturan keseimbangan air
pada lanjut usia
Perubahan
fungsi ginjal berhubungan dengan usia, dimana pada peningkatan usia maka
pengaturan metabolisme air menjadi terganggu yang sering terjadi pada lanjut
usia. Jumlah total air dalam tubuh menurun sejalan dengan peningkatan usia.
Penurunan ini lebih berarti pada perempuan daripada laki-laki, prinsipnya
adalah penurunan indeks massa tubuh karena terjadi peningkatan jumlah lemak
dalam tubuh. Pada lanjut usia, untuk mensekresi sejumlah urin atau kehilangan
air dapat meningkatkan osmolaritas cairan ekstraseluler dan menyebabkan
penurunan volume yang mengakibatkan timbulnya rasa haus subjektif. Pusat-pusat
yang mengatur perasaan haus timbul terletak pada daerah yang menghasilkan ADH
di hypothalamus.
Pada
lanjut usia, respon ginjal pada vasopressin berkurang biladibandingkan dengan
usia muda yang menyebabkan konsentrasi urin juga berkurang, Kemampuan ginjal
pada kelompok lanjut usia untuk mencairkan dan mengeluarkan kelebihan air tidak
dievaluasi secara intensif. Orang dewasa sehat mengeluarkan 80% atau lebih dari
air yang diminum (20 ml/kgBB) dalam 5 jam.
5.
Benigna Prostatic Hyperplasia (BPH)
A.
Pengertian
Kelenjar prostat adalah salah satu organ genitalia pria yang
terletak di sebelah inferior buli-buli dan membungkus uretra posterior. Prostat adalah
jaringan fibromuskuler dan jaringan kelenjar yang terlihat persis di inferior
dari kandung kencing. Prostat normal beratnya + 20 gr, didalamnya berjalan
uretra posterior + 2,5 cm. Pada bagian anterior difiksasi oleh ligamentum
puboprostatikum dan sebelah inferior oleh diafragma urogenitale. Pada prostat
bagian posterior bermuara duktus ejakulatoris yang berjalan miring dan berakhir
pada verumontanum pada dasar uretra prostatika tepat proksimal dari spingter
uretra eksterna (Purnomo, 2003).
Benigna
Prostat Hyperplasia (BPH) adalah pembesaran progresif dari kelenjar prostat
yang dapat menyebabkan obstruksi dan ristriksi pada jalan urine (uretra).
Benign
Prostatic Hyperplasia (BPH) atau disebut tumor prostat jinak adalah pertumbuhan
berlebihan yang tidak ganas. Pembesaran prostat jinak akibat sel-sel prostat
memperbanyak diri melebihi kondisi normal, biasanya laki-laki berusia di atas
50 tahun.
Benigna
Prostat Hiperplasia merupakan kondisi patologis dimana terjadi pembesaran
kelenjar prostat, memanjang ke atas ke dalam kandung kemih dan menyumbat aliran
urin dengan menutupi orifisium uretra (Smeltzer & Bare, 2002).
B.
Etiologi
Menurut Purnomo (2003),
hingga sekarang ini masih belum diketahui secara pasti penyebab terjadinya BPH.
Beberapa hipotesis menyebutkan bahwa BPH erat kaitannya dengan peningkatan
kadar dihidrotestosteron (DHT) dan proses aging (menjadi tua). beberapa
hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulnya BPH adalah :
a)
Teori
DHT
DHT adalah metabolit androgen yang
sangat penting pada pertumbuhan sel-sel kelenjar prostat. Dibentuk dari
testosteron di dalam sel prostat oleh enzim 5a-reduktase dengan bantuan koenzim
NADPH. DHT yang telah dibentuk berikatan dengan reseptor androgen (RA)
membentuk kompleks DHT-RA pada inti sel dan selanjutnya terjadi sintesa protein
growth factor yang menstimulasi pertumbuhan sel prostat. Pada berbagai
penelitian, aktivitas enzim 5a-reduktase dan jumlah RA lebih banyak pada BPH.
Hal ini menyebabkan sel-sel prostat pada BPH lebih sensitif terhadap DHT
sehingga replikasi sel lebih banyak terjadi dibandingkan dengan prostat normal.
b)
Keseimbangan
antara estrogen-testosteron
Pada usia yang semakin tua, kadar
testosteron menurun, sedangkan kadar estrogen relatif tetap sehingga
perbandingan antara estrogen testosteron semakin meningkat. Telah diketahui
bahwa estrogen di dalam prostat berperan dalam terjadinya proliferasi sel-sel
kelenjar prostat dengan cara meningkatkan sensitifitas sel-sel prostat terhadap
rangsangan hormon androgen, meningkatkan jumlah RA, dan menurunkan jumlah
kematian sel prostat. Hal itu membuat sel-sel prostat yang telah ada mempunyai
umur yang lebih panjang sehingga massa prostat menjadi lebih besar.
c)
Interaksi
stroma-epitel
Diferensiasi dari pertumbuhan sel
epitel prostat secara tidak langsung dikontrol oleh sel-sel stroma melalui
suatu mediator (growth factor) tertentu. Setelah sel-sel stroma mendapatkan
stimulasi dari DHT dan estrandiol, sel-sel stroma mensintesis suatu growth
factor yang selanjutnya mempengaruhi sel-sel stroma itu sendiri secara
intrakrin dan autokrin, serta mempengaruhi sel-sel epitel secara parakrin.
Stimulasi itu menyebabkan terjadinya proliferasi sel-sel epitel maupun sel
stroma.
d)
Berkurangnya
kematian sel prostat (apoptosis)
Program apoptosis pada sel prostat
merupakan mekanisme fisiologis untuk mempertahankan homeostasis kelenjar
prostat. Berkurangnya jumlah sel-sel prostat yang mengalami apoptosis
menyebabkan jumlah sel-sel prostat secara keseluruhan menjadi meningkat
sehingga massa prostat bertambah. estrogen diduga mampu memperpanjang usia
sel-sel prostat, sedangkan faktor pertumbuhan TGFß (transforming growth factor
beta) berperan dalam proses apoptosis.
e)
Teori
sel stem
Untuk mengganti sel-sel yang
mengalami apoptosis, selalu dibentuk sel-sel baru. Dalam kelenjar prostat
dikenal stem sel yaitu sel yang mempunyai kemampuan berproliferasi sangat
ekstensif. Kehidupan sel ini sangat tergantung pada keberadaan hormon androgen.
Sehingga jika hingga hormon ini kadarnya menurun seperti yang terjadi pada
kastrasi, menyebabkan terjadinya apoptosis. Terjadinya proliferasi sel-sel pada
BPH dipostulasikan sebagai tidak tepatnya aktivitas sel stem sehingga
terjadinya produksi yang berlebihan sel stroma maupun sel epitel.
C.
Faktor
Predisposisi
1) Volume buli-buli tiba-tiba terisi
penuh yaitu pada cuaca dingin, menahan kencing terlalu lama, mengkonsumsi
obat-obatan atau minuman yang mengandung diuretikum (alkohol, kopi), dan minum
air dalam jumlah berlebihan.
2) Massa prostat tiba-tiba membesar
yaitu setelah melakukan aktivitas seksual atau mengalami infeksi prostat akut.
3) Setelah mengkonsumsi obat-obatan
yang dapat menurunkan kontraksi otot detrusor atau yang dapat mempersempit
leher buli-buli, antara lain golongan antikolinergik atau adrenergik alfa.
D.
Patofisiologi
Pembesaran prostat menyebabkan penyempitan
lumen uretra prostatika dan menghambat aliran urin. Keadaan ini menyebabkan
peningkatan tekanan intravaskuler. Untuk dapat mengeluarkan urin, buli-buli
harus berkontraksi lebih kuat guna melawan tahanan itu. Kontraksi yang terus
menerus ini menyebabkan perubahan anatomik buli-buli berupa hipertrofi otot
detrusor, trabekulasi, terbentuknya selula, sakula, dan divertikel buli-buli.
Perubahan struktur pada buli-buli tersebut, oleh klien dirasakan sebagai
keluhan pada saluran kemih bagian bawah atau lower urinary tract symptom
(LUTS) yang dahulu dikenal dengan gejala prostatismus (Price, 1996).
Tekanan intravesikal yang tinggi
diteruskan ke seluruh bagian buli-buli tidak terkecuali pada kedua muara
ureter. Tekanan pada kedua muara ureter ini dapat menimbulkan aliran balik urin
dari buli-buli ke ureter atau terjadi refluks vesiko-ureter. Keadaan ini jika
berlangsung terus akan mengakibatkan hidroureter, hidronefrosis, bahkan
akhirnya dapat jatuh ke dalam gagal ginjal.
Obstruksi yang diakibatkan oleh BPH
tidak hanya disebabkan oleh adanya massa prostat yang menyumbat uretra
posterior, tetapi juga disebabkan oleh tonus otot polos yang ada pada stroma
prostat, kapsul prostat, dan otot polos pada leher buli-buli. Otot polos itu
dipersarafi oleh serabut simpatis yang berasal dari nervus pudendus (Price,
1996).
Pada BPH terjadi rasio peningkatan
komponen stroma terhadap epitel. Kalau pada prostat normal rasio stroma
dibanding dengan epitel adalah 2:1, pada BPH rasionya meningkat menjadi 4:1.
Hal ini menyebabkan pada BPH terjadi peningkatan tonus otot otot polos prostat
dibanding dengan prostat normal. Dalam hal ini massa prostat yang menyebabkan
obstruksi komponen statik sedangkan tonus otot polos yang merupakan komponen
dinamik sebagai penyebab obstruksi prostat.
E.
Manifestasi Klinis
Obstruksi
prostat dapat menimbulkan keluhan pada saluran kemih maupun keluhan di luar
saluran kemih.
a.
Keluhan pada saluran kemih bagian bawah
(LUTS)
Gejala
iritatif yaitu sering miksi (frekuensi), terbangun untuk miksi pada malam hari
(nokturia), perasaan ingin miksi yang sangat mendesak (urgensi), dan nyeri pada
saat miksi (disuria). Sedangkan gejala obstruktif adalah pancaran melemah, rasa
tidak puas sehabis miksi, kalau mau miksi harus menunggu lama (hesitancy),
harus mengejan (straining), kencing terputus-putus (intermittency), dan waktu
miksi memanjang yang akhirnya menjadi retensio urin dan inkontinen karena
overflow.
b.
Keluhan pada saluran kemih bagian atas
Keluhan
akibat BPH pada saluran kemih atas berupa gejala obstruksi antara lain nyeri
punggung, benjolan di pinggang (yang merupakan tanda dari hidronefrosis), atau
demam yang merupakan tanda dari infeksi atau urosepsis.
c.
Gejala diluar saluran kemih
Pada
pemeriksaan fisis mungkin didapatkan buli-buli yang terisi penuh dan teraba
massa kistus di daerah supra simfisis akibat retensi urine. Kadang-kadang
didapatkan urin yang selalu menetes tanpa disadari oleh klien merupakan
pertanda inkontinensia paradoksa. Pada colok dubur diperhatikan tonus sfingter
ani/refleks bulbo-kavernosus untuk menyingkirkan adanya kelainan buli-buli
neurogenik, mukosa rektum, dan keadaan prostat antara lain kemungkinan adanya
nodul, krepitasi, konsistensi prostat, simetri antar lobus dan batas prostat.
F.
Penatalaksanaan
Menurut
Mansjoer (2000) dan Purnomo (2000), penatalaksanaan pada BPH dapat dilakukan
dengan:
a)
Observasi
Kurangi
minum setelah makan malam, hindari obat dekongestan, kurangi kopi, hindari
alkohol,tiap 3 bulan kontrol keluhan, sisa kencing dan colok dubur.
b)
Medikamentosa
o
Penghambat alfa (alpha blocker)
Prostat
dan dasar buli-buli manusia mengandung adrenoreseptor-α1, dan prostat
memperlihatkanrespon mengecil terhadap agonis. Komponen yang berperan dalam
mengecilnya prostat dan leher buli- buli secara primer diperantarai oleh
reseptor alpha blocker. Penghambatan terhadap alfa telah memperlihatkanhasil
berupa perbaikan subjektif dan objektif terhadap gejala dan tanda BPH pada
beberapa pasien. Penghambat alfa dapat diklasifikasikan berdasarkan
selektifitas reseptor dan waktu paruhnya
o
Penghambat α5-Reduktase (5α-Reductase
inhibitors)
Finasteride
adalah penghambat 5α-Reduktase yang menghambat perubahan testosteron menjadi
dihydratestosteron. Obat ini mempengaruhi komponen epitel prostat, yang
menghasilkan pengurangan ukuran kelenjar dan memperbaiki gejala. Dianjurkan
pemberian terapi ini selama 6 bulan, guna melihat efek maksimal terhadap ukuran
prostat (reduksi 20%) dan perbaikan gejala-gejala
o
Terapi KombinasiTerapi kombinasi antara
penghambat alfa dan penghambat 5α-Reduktase memperlihatkan bahwa penurunan
symptom score dan peningkatan aliran urin hanya ditemukan pada pasien yang
mendapatkan hanya Terazosin. Penelitian terapi kombinasi tambahan sedang
berlangsung.
o
Fitoterapi
o
Fitoterapi adalah penggunaan
tumbuh-tumbuhan dan ekstrak tumbuh-tumbuhan untuk tujuan medis. Penggunaan
fitoterapi pada BPH telah popular di Eropa selama beberapa tahun. Mekanisme
kerjafitoterapi tidak diketahui, efektifitas dan keamanan fitoterapi belum
banyak diuji.
o
Terapi Bedah
Indikasinya
adalah bila retensi urin berulang, hematuria, penurunan fungsi ginjal, infeksi
salurankemih berulang, divertikel batu saluran kemih, hidroureter,
hidronefrosis jenis pembedahan:
×
TURP (Trans Uretral Resection
Prostatectomy)
×
Prostatektomi Suprapubis
×
Prostatektomi Retropubis
×
Prostatektomi Peritoneal
×
Prostatektomi retropubis radikal
×
Terapi Invasif Minimal
G.
Diagnosa Keperawatan
o
Gangguan rasa nyaman: nyeri berhubungan
dengan spasme otot spincter
o
Perubahan pola eliminasi urine: retensi
urin berhubungan dengan obstruksi sekunder
o
Resiko tinggi disfungsi seksual
berhubungan dengan sumbatan saluran ejakulasi, hilangnya fungsi tubuh
o
Kurang pengetahuan berhubungan dengan
kurang informasi tentang penyakit, perawatannya.
o
Dll
6.
Penyakit ginjal dan traktus urinarius
pada lanjut usia
A.
Infeksi saluran kemih
Infeksi
saluran kemih adalah suatu istilah umum yang dipakai untuk mengatakan adanya
invasi mikroorganisme pada saluran kemih. (Agus Tessy, Ardaya, Suwanto, 2001)
Infeksi
Saluran Kemih (ISK) adalah istilah umum yang dipakai untuk menyatakan adanya
invasi mikroorganisme pada saluran kemih. Prevalensi ISK di masyarakat makin
meningkat seiring dengan meningkatnya usia. Pada usia 40-60 tahun mempunyai
angka prevalensi 3,2 %, sedangkan pada usia sama atau di atas 65 tahun
kira-kira mempunyai angka prevalensi ISK sebesar 20 %. Infeksi saluran kemih
dapat mengenal baik laki-laki maupun wanita dari semua umur, baik anak-anak,
remaja, dewasa maupun lanjut usia. Akan tetapi dari kedua jenis kelamin,
ternyata wanita lebih sering dari pria dengan angka populasi umum, kurang lebih
5-15%.
Untuk
menyatakan adanya ISK harus ditemukan bakteri dalam urin. Bakteriuria yang
disertai dengan gejala pada saluran kemih disebut bakteriuria simptomatis.
Sedangkan yang tanpa gejala disebut bakteriuria asimptomatis. Dikatakan
bakteriuria positif pada pasien asimptomatis bila terdapat lebih dari 105
koloni bakteri dalam sampel urin midstream, sedangkan pada pasien simptomatis
bisa terdapat jumlah koloni lebih rendah.
Prevalensi ISK yang tinggi pada
usia lanjut antara lain disebabkan karena: Sisa urin dalam
kandung kemih meningkat akibat pengosongan kandung kemih kurang efektif.
Mobilitas menurun. Pada usia lanjut nutrisi sering kurang baik. Sistem imunitas
menurun, baik seluler maupun humoral.Adanya hambatan pada aliran urin.
Hilangnya efek bakterisid dari sekresi prostat.
Klasifikasi
infeksi saluran kemih sebagai berikut :
o
Kandung kemih (sistitis)
o
Uretra (uretritis)
o
Prostat (prostatitis)
o
Ginjal (pielonefritis)
B.
Etiologi
ISK pada usia lanjut dipandang dari
segi penatalaksanaan sering dibedakan atas:
a)
ISK
uncomplicated (simple)
ISK yang sederhana yang terjadi pada
penderita dengan saluran kencing baik anatomi maupun fungsionil normal. ISK
sederhana ini pada usia lanjut terutama mengenai penderita wanita dan infeksi
hanya mengenai mukosa superfisial kandung kemih. Penyebab kuman tersering (90%)
adalah E. coli.
b)
ISK
complicated
Sering menimbulkan banyak masalah
karena sering kuman penyebab sulit diberantas, kuman penyebab sering resisten
terhadap beberapa macam antibiotik, sering terjadi bakteriemia, sepsis, dan
syok. Penyebab kuman pada ISK complicated adalah Pseudomonas, Proteus, dan
Klebsiela. ISK complicated terjadi bila terdapat keadaan-keadaan sebagai
berikut:
o
Kelainan
abnormal saluran kemih, misalnya batu (pada usia lanjut kemungkinan terjadinya
batu lebih besar dari pada usia muda). Refleks vesiko urethral obstruksi,
paraplegi, atoni kandung kemih, kateter kandung kemih menetap, serta
prostatitis menahun. Kelainan faal ginjal, baik gagal ginjal akut (GGA) maupun
gagal ginjal kronis (GGK).
o
Bermacam-macam
mikroorganisme dapat menyebabkan ISK. Mikroorganisme yang paling sering adalah
bakteri aerob. Saluran kemih normal tidak dihuni oleh bakteri atau mikroba
lain, karena itu urin dalam ginjal dan buli-buli biasanya steril. Walaupun
demikian uretra bagian bawah terutama pada wanita dapat dihuni oleh bakteri
yang jumlahnya makin kurang pada bagian yang mendekati kandung kemih. Selain
bakteri aerob, ISK juga dapat disebabkan oleh virus, ragi, dan jamur.
C.
Patofisiologi
Infeksi
Saluran Kemih disebabkan oleh adanya mikroorganisme patogenik dalam traktus
urinarius. Mikroorganisme ini masuk melalui : kontak langsung dari tempat
infeksi terdekat, hematogen, limfogen.
Ada
dua jalur utama terjadinya ISK yaitu asending dan hematogen.
1)
Secara asending yaitu:
Masuknya
mikroorganisme dalm kandung kemih, antara lain: factor anatomi dimana pada
wanita memiliki uretra yang lebih pendek daripada laki-laki sehingga insiden
terjadinya ISK lebih tinggi, factor tekanan urine saat miksi, kontaminasi
fekal, pemasangan alat ke dalam traktus urinarius (pemeriksaan sistoskopik,
pemakaian kateter), adanya dekubitus yang terinfeksi.
2)
Naiknya bakteri dari kandung kemih ke
ginjal.
Secara
hematogen yaitu:
Sering
terjadi pada pasien yang system imunnya rendah sehingga mempermudah penyebaran
infeksi secara hematogen Ada beberapa hal yang mempengaruhi struktur dan fungsi
ginjal sehingga mempermudah penyebaran hematogen, yaitu: adanya bendungan total
urine yang mengakibatkan distensi kandung kemih, bendungan intrarenal akibat
jaringan parut, dan lain-lain.
D.
Tanda dan Gejala
a.
Tanda dan gejala ISK pada bagian bawah
adalah :
-
Nyeri yang sering dan rasa panas ketika
berkemih
-
Spasame pada area kandung kemih dan
suprapubis
-
Hematuria
-
Nyeri punggung dapat terjadi
b.
Tanda dan gejala ISK bagian atas adalah
:
-
Demam
-
Menggigil
-
Nyeri panggul dan pinggang
-
Nyeri ketika berkemih
-
Malaise
-
Pusing/sakit kepala
-
Mual dan muntah
E.
Penatalaksanaan
Penanganan
Infeksi Saluran Kemih (ISK) yang ideal adalah agens antibacterial yang secara
efektif menghilangkan bakteri dari traktus urinarius dengan efek minimal
terhaap flora fekal dan vagina.
Terapi
Infeksi Saluran Kemih (ISK) pada usia lanjut dapat dibedakan atas:
o
Terapi antibiotika dosis tunggal
o
Terapi antibiotika konvensional: 5-14
hari
o
Terapi antibiotika jangka lama: 4-6
minggu
o
Terapi dosis rendah untuk supresi
Pemakaian
antimicrobial jangka panjang menurunkan resiko kekambuhan infeksi. Jika
kekambuhan disebabkan oleh bakteri persisten di awal infeksi, factor kausatif
(mis: batu, abses), jika muncul salah satu, harus segera ditangani. Setelah
penanganan dan sterilisasi urin, terapi preventif dosis rendah.
Penggunaan
medikasi yang umum mencakup: sulfisoxazole (gastrisin),
trimethoprim/sulfamethoxazole (TMP/SMZ, bactrim, septra), kadang ampicillin
atau amoksisilin digunakan, tetapi E. Coli telah resisten terhadap bakteri ini.
Pyridium, suatu analgesic urinarius juga dapat digunakan untuk mengurangi
ketidaknyamanan akibat infeksi.
Pemakaian
obat pada usia lanjut perlu dipikirkan kemungkina adanya:
o
Gangguan absorbsi dalam alat pencernaan
o
Interaksi obat
o
Efek samping obat
o
Gangguan akumulasi obat terutama
obat-obat yang ekskresinya melalui ginjal
o
Resiko pemberian obat pada usia lanjut
dalam kaitannya dengan faal ginjal:
-
Efek nefrotosik obat
-
Efek toksisitas obat
F.
Diagnosa Keperawatan Yang Mungkin Muncul
o
Gangguan rasa nyaman : nyeri berhubungan
dengan inflamasi dan infeksi uretra, kandung kemih dan sruktur traktus
urinarius lain.
o
Perubahan pola eliminasi berhubungan
dengan obstruksi mekanik pada kandung kemih ataupun struktur traktus urinarius
lain.
o
Kurangnya pengetahuan tentang kondisi,
prognosis, dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan kurangnya sumber
informasi.
7.
Inkontinensia Urine
A.
Pengertian
Inkontinensia
urine merupakan eliminasi urine dari kandung kemih yang tidak terkendali atau
terjadi diluar keinginan (Brunner and Suddarth, 2002).
Inkontinensia
urine didefinisikan sebagai keluarnya urine yang tidak terkendali pada waktu
yang tidak dikehendaki tanpa memperhatikan frekuensi dan jumlahnya,yang
mengakibatkan masalah social dan higienis pendeitanya (FKUI, 2006).
B.
Etiologi
o
Kerusakan
persarafan mengakibatkan seseorang tidak mampu mencegah kontraksi otot kandung
emih secara efektif.
o
Keterbatasan
gerak atau konfusi
o
Keinginan
miksi datang sangat cepat dan sangat mendesak
o
Kelemahan
otot spingter
o
Adanya
tekanan di dalam abdomen seperti bersin, batuk
o
Pembesaran
prostat
Adapun Klasifikasi inkontinensia urin menurut Hidayat, 2006
1)
Inkontinensia dorongan
Keadaan dimana seseorang mengalami pengeluaran urin
tanpa sadar, terjadi segera setelah merasa dorongan yang kuat setelah berkemih.
Inkontinensia dorongan ditandai dengan seringnya
terjadi miksi (miksi lebih dari 2 jam sekali) dan spame kandung kemih (Hidayat,
2006). Pasien Inkontinensia dorongan mengeluh tidak dapat menahan kencing
segera setelah timbul sensasi ingin kencing. Keadaan ini disebabkan otot
detrusor sudah mulai mengadakan kontraksi pada saat kapasitas kandung kemih
belum terpenuhi.
2)
Inkontinensia total
Keadaan dimana seseorang mengalami pengeluaran urin
yang terus menerus dan tidak dapat diperkirakan. Kemungkinan penyebab
inkontinensia total antara lain: disfungsi neorologis, kontraksi independen dan
refleks detrusor karena pembedahan, trauma atau penyakit yang mempengaruhi
saraf medulla spinalis, fistula, neuropati.
3)
Inkontinensia stress
tipe
ini ditandai dengan adanya urin menetes dengan peningkatan tekanan abdomen,
adanya dorongan berkemih, dan sering miksi. Inkontinensia stress terjadi disebabkan
otot spingter uretra tidak dapat menahan keluarnya urin yang disebabkan
meningkatnya tekanan di abdomen secara tiba-tiba. Peningkatan tekanan abdomen
dapat terjadi sewaktu batuk, bersin, mengangkat benda yang berat, tertawa
(Panker, 2007).
4)
Inkontinensia reflex
Keadaan di mana seseorang mengalami
pengeluaran urin yang tidak dirasakan.
Inkontinensia tipe ini kemungkinan
disebabkan oleh adanya kerusakan neurologis (lesi medulla spinalis).
Inkontinensia refleks ditandai dengan tidak adanya dorongan untuk berkemih,
merasa bahwa kandung kemih penuh, dan kontraksi atau spasme kandung kemih tidak
dihambat pada interval teratur
5)
Inkontinensia fungsional
keadaan
seseorang yang mengalami pengeluaran urin secara tanpa disadari dan tidak dapat
diperkirakan. Keadaan inkontinensia ini ditandai dengan tidak adanya dorongan
untuk berkemih, merasa bahwa kandung kemih penuh, kontraksi kandung kemih cukup
kuat untuk mengeluarkan urin
C.
Tanda dan Gejala
Tanda
dan gejala yag ditemukan pada pasien dengan retensi urin menurut Uliyah (2008)
yaitu:
o
Ketidaknyamanan daerah pubis
o
Distensi vesika urinaria
o
Ketidak sanggupan untuk berkemih
o
Sering berkemih, saat vesika
urinaria berisi sedikit urine. ( 25-50 ml)
-
Ketidakseimbangan jumlah urine yang
dikeluarkan dengan asupannya
-
Meningkatkan keresahan dan keinginan
berkemih
-
Adanya urine sebanyak 3000-4000 ml
dalam kandung kemih.
D. Penatalaksanaan Medik
Penatalaksanaan inkontinensia urin
menurut Muller adalah mengurangi faktor resiko, mempertahankan homeostasis,
mengontrol inkontinensia urin, modifikasi lingkungan, medikasi, latihan otot
pelvis dan pembedahan. Dari beberapa hal tersebut di atas, dapat dilakukan
sebagai berikut :
a) Pemanfaatan kartu catatan berkemih
Yang dicatat pada kartu tersebut
misalnya waktu berkemih dan jumlah urin yang keluar, baik yang keluar secara
normal, maupun yang keluar karena tak tertahan, selain itu dicatat pula waktu,
jumlah dan jenis minuman yang diminum
b)
Terapi
non farmakologi
Dilakukan dengan mengoreksi penyebab
yang mendasari timbulnya inkontinensia urin, seperti hiperplasia prostat,
infeksi saluran kemih, diuretik, gula darah tinggi.
c) Terapi farmakologi
Obat-obat yang dapat diberikan pada
inkontinensia urgen adalah antikolinergik seperti Oxybutinin, Propantteine,
Dicylomine, flavoxate, Imipramine. Pada inkontinensia stress diberikan alfa
adrenergic agonis, yaitu pseudoephedrine untuk meningkatkan retensi urethra.
Pada sfingter relax diberikan kolinergik agonis seperti Bethanechol atau
alfakolinergik antagonis seperti prazosin untuk stimulasi kontraksi, dan terapi
diberikan secara singkat.
d) Terapi pembedahan
Terapi ini
dapat dipertimbangkan pada inkontinensia tipe stress dan urgensi, bila terapi
non farmakologis dan farmakologis tidak berhasil. Inkontinensia tipe overflow
umumnya memerlukan tindakan pembedahan untuk menghilangkan retensi urin. Terapi
ini dilakukan terhadap tumor, batu, divertikulum, hiperplasia prostat, dan prolaps
pelvic (pada wanita).
e) Modalitas lain
Sambil melakukan terapi dan
mengobati masalah medik yang menyebabkan inkontinensia urin, dapat pula
digunakan beberapa alat bantu bagi lansia yang mengalami inkontinensia urin,
diantaranya adalah pampers, kateter, dan alat bantu toilet seperti
urinal, komod dan bedpan.
G.
Diagnosa keperawatan
o
Iritasi kulit genital b/d frekuensi berkemih yang berlebih
o
Penurunan isyarat kandung kemih b/d disfungsi neuromuscular
o
Resiko kekurangan cairan b/d out put berlebihan
o
Resiko cedera fisik b/d fungsi tubuh, lantai yang licin
o
dll
BAB III
PENUTUP
Simpulan
Pada
lansia ginjal berukuran lebih kecil dibanding dengan ginjal pada usia muda.
Pada usia 90 tahun beratnya berkurang 20-30% atau 110-150 gram bersamaan dengan
pengurangan ukuran ginjal.
Pada
studi kasus dari McLachlan dan Wasserman tentang panjang, luas dan kemampuan
untuk berkembang dari ginjal yang mendapat urogram i.v, mereka menemukan bahwa
panjang ginjal berkurang 0,5 cm per dekade setelah mencapai usia 50 tahun.
Dengan bertambahnya usia, banyak jaringan yang hilang dari korteks ginjal,
glomerulus dan tubulus. Jumlah total glomerulus berkurang 30-40% pada usia 80
tahun, dan permukaan glomerulus berkurang secara progresif setelah 40 tahun,
dan yang terpenting adalah terjadi penambahan dari jumlah jaringan sklerotik.
Meskipun kurang dari 1% glomerulus sklerotik pada usia muda, persentase ini
meningkat 10-30% pada usia 80 tahun.
Terdapat
beberapa perubahan pada pembuluh darah ginjal pada lansia. Pada korteks ginjal,
arteri aferen dan eferen cenderung untuk atrofi yang berarti terjadi
pengurangan jumlah darah yang terdapat di glomerulus. Atrofi arteri aferen dan
eferen pada jukstaglomerulus terjadi tidak simetris sehingga timbul fistel.
Jadi ketika aliran darah di korteks berkurang, aliran di jukstaglomerular akan
meningkat. Ini berpengaruh pada konsentrasi urin yang berkurang pada usia
lanjut akibat gangguan pengaturan sistem keseimbangan.
DAFTAR
PUSTAKA
o
Doenges, M.E., Marry, F..M and Alice, C.G.,
2000. Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman Untuk Perencanaan Dan
Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta, Penerbit Buku Kedokteran EGC.
o
Long, B.C., 1996. Perawatan Medikal
Bedah : Suatu Pendekatan Proses Keperawatan. Jakarta, Penerbit Buku Kedokteran
EGC.
o
Lab / UPF Ilmu Bedah, 1994. Pedoman
Diagnosis Dan Terapi. Surabaya, Fakultas Kedokteran Airlangga / RSUD. dr.
Soetomo.
o
Hardjowidjoto S. (1999).Benigna Prostat
Hiperplasia. Airlangga University Press. Surabaya
o
Soeparman. (1990). Ilmu Penyakit Dalam.
Jilid II. FKUI. Jakarta.
o
Tambayong
jan.2000.Patofisiologi untuk keperawatan.Jakarta.
EGC
o
Price,
Sylvia Andrson. (1995). Patofisiologi:
konsep klinis proses-proses penyakit: pathophysiologi clinical concept of
disease processes. Alih Bahasa: Peter Anugrah. Edisi: 4. Jakarta: EGC.
o
Smeltzer,
Suzanne C. (2001). Buku Ajar Keperawatan
Medikal-Bedah Brunner & Suddart. Alih Bhasa: Agung Waluyo. Edisi: 8.
Jakarta: EGC.
o
Tessy
Agus, Ardaya, Suwanto. (2001). Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam: Infeksi Saluran Kemih. Edisi: 3. Jakarta: FKUI
o
Stockslager, Jaime L. 2007. Buku Saku Asuhan Keperawatan
Geriatrik. Jakarta : EGC
o
Charlene J. Reeves at all. Keperawatan Medikal Bedah.
Jakarta : Salemba Medica, 2001.
o
Watson, Roger.
2003. Perawatan Pada Lansia. Jakarta. EGC
o
Darmojo,
R. boedhi. 2004. Buku Ajar Geriatric, Ilmu Kesehatan Usia Lanjut,Edisi 3.
Jakarta : FKUI
o
Stanlley,
mickey. 2006. Buku Ajar Keperawatan Gerontik, Edisi 2. Jakarta : EGC
Tidak ada komentar:
Posting Komentar