KITA HARUS JADI GENERASI BANGSA YANG KREATIF

KITA HARUS JADI GENERASI BANGSA YANG KREATIF
BERBAGI ILMU

Kamis, 18 Desember 2014

ASUHAN KEPERAWATAN APENDISITIS...

BAB I
PENDAHULUAN


1.        Latar belakang
Appendiks merupakan suatu bagian sepertoi kantong yang non fungsional dan terletak di bagian inferior seikum (smeltzer, 2002).
Berdasarkan data WHO tahun 2005 didapatkan bahwa jumlah penderita apendiksitis berjumlah sekitar 50 %. Adapun jumlah penderita penyakit apendiksitis pada tahun 2009 di Indonesia berjumlah sekitar 27% dari jumlah penduduk Indonesia, di Kalimantan Timur berjumlah 26% dari jumlah penduduk di Kalimantan Timur, di Samarinda berjumlah 25% dari jumlah penduduk Samarinda.
Penyakit radang usus buntu ini umumnya disebabkan oleh infeksi bakteri, namun faktor pencetusnya ada beberapa kemungkinan yang sampai sekarang belum dapat diketahui secara pasti. Di antaranya faktor penyumbatan (obstruksi) pada lapisan saluran (lumen) appendiks oleh timbunan tinja/feces yang keras (fekalit), hyperplasia (pembesaran) jaringan limfoid, penyakit cacing, parasit, benda asing dalam tubuh, cancer primer dan striktur. Diantara beberapa faktor diatas, maka yang paling sering ditemukan dan kuat dugaannya sebagai penyabab adalah faktor penyumbatan oleh tinja/feces dan hyperplasia jaringan limfoid. Penyumbatan atau pembesaran inilah yang menjadi media bagi bakteri untuk berkembang biak. Perlu diketahui bahwa dalam tinja/feces manusia sangat mungkin sekali telah tercemari oleh bakteri/kuman Escherichia Coli, inilah yang sering kali mengakibatkan infeksi yang berakibat pada peradangan usus buntu. Makan cabai bersama bijinya atau jambu klutuk beserta bijinya sering kali tak tercerna dalam tinja dan menyelinap kesaluran appendiks sebagai benda asin, Begitu pula terjadinya pengerasan tinja/feces (konstipasi) dalam waktu lama sangat mungkin ada bagiannya yang terselip masuk kesaluran appendiks yang pada akhirnya menjadi media kuman/bakteri bersarang dan berkembang biak sebagai infeksi yang menimbulkan peradangan usus buntu tersebut.
Pembedahan segera dilakukan, untuk mencegah terjadinya ruptur (peca), terbentuknya abses atau peradangan pada selaput rongga perut (peritonitis). Pada hampir 15% pembedahan usus buntu, usus buntunya ditemukan normal. Tetapi penundaan pembedahan sampai ditemukan penyebab nyeri perutnya, dapat berakibat fatal. Usus buntu yang terinfeksi bisa pecah dalam waktu kurang dari 24 jam setelah gejalanya timbul. Bahkan meskipun apendisitis bukan penyebabnya, usus buntu tetap diangkat. Lalu dokter bedah akan memeriksa perut dan mencoba menentukan penyebab nyeri yang sebenarnya. Pembedahan yang segera dilakukan bisa mengurangi angka kematian pada apendisitis. Penderita dapat pulang dari rumah sakit dalam waktu 2-3 hari dan penyembuhan biasanya cepat dan sempurna. Usus buntu yang pecah, prognosisnya lebih serius. 50 tahun yang lalu, kasus yang ruptur sering berakhir fatal. Dengan pemberian antibiotik, angka kematian mendekati nol.(medicastore)
Dari fakta diatas, maka penulis tertarik untuk mengangkat asuhan keperawatan pada klien dengan kasus apendiksitis.


1.      Tujuan penulisan

a.      Tujuan umum
Mengetahui asuhan keperawatan klien dengan apendiksitis
b.      Tujuan khusus
·         Melakukan pengkajian keperawatan pada dengan  Appendiksitis.
·         Merumuskan diagnosa keperawatan yang tepat pada klien dengan Appendiksitis.
·         Menetapkan perencanaan keperawatan pada klien dengan Appendiksitis.
·         Melaksanakan tindakan keperawatan pada klien dengan Appendiksitis.
·         Melakukan evaluasi tindakan keperawatan yang telah dilakukan pada klien dengan Appendiksitis.

BAB II
TINJAUAN TEORITIS
A.    Pengertian

Apendisitis adalah kondisi di mana infeksi terjadi di umbai cacing. Dalam kasus ringan dapat sembuh tanpa perawatan, tetapi banyak kasus memerlukan laparotomi dengan penyingkiran umbai cacing yang terinfeksi. Bila tidak terawat, angka kematian cukup tinggi, dikarenakan oleh peritonitis dan shock ketika umbai cacing yang terinfeksi hancur. (Anonim, Apendisitis, 2007)
Apendisitis adalah peradangan akibat infeksi pada usus buntu atau umbai cacing (apendiks). Infeksi ini bisa mengakibatkan pernanahan. Bila infeksi bertambah parah, usus buntu itu bisa pecah. Usus buntu merupakan saluran usus yang ujungnya buntu dan menonjol dari bagian awal usus besar atau sekum (cecum). Usus buntu besarnya sekitar kelingking tangan dan terletak di perut kanan bawah. Strukturnya seperti bagian usus lainnya. Namun, lendirnya banyak mengandung kelenjar yang senantiasa mengeluarkan lendir. (Anonim, Apendisitis, 2007)

Apendisitis merupakan peradangan pada usus buntu/apendiks ( Anonim, Apendisitis, 2007)
Apendiks adalah ujung seperti jari yang kecil panjangnya kira-kira 10 cm (4 inci), melekat pada sekum tepat di bawah katup ileosekal. Apendiks berisi makanan dan mengosongkan diri secara teratur ke dalam sekum. Karena pengosongannya tidak efektif, dan lumennya kecil, apendiks cenderung menjadi tersumbat dan terutama rentan terhadap infeksi (apendisitis) (Suzanne, 2002).

Apendisitis merupakan merupakan peradangan pada apendiks (kantung buntu pada caecum) yang dapat menjadi keadaan darurat, khususnya dalam pembedahan pada anak. Secara umum apendiks ini melekat pada caecum, dan pada anak umumnya tidak lurus dan memperlihatkan sebuah lipatan. Apabila terjadi peradangan apendiks maka akan terjadi akumulasi dari eksudat purulen dalam lumen dan dapat terjadi obstruksi, akibatnya suplai darah berkurang, pembuluh darah juga akan mengalami kerusakan (Hidayat, 2008).

Apendisitis adalah peradangan dari apendiks vermiformis, dan merupakan penyebab abdomen akut yang paling sering. Penyakit ini dapat mengenai semua umur baik laki-laki maupun perempuan (Mansjoer, 2000).

Apendisitis, penyebab paling umum inflamasi akut pada kuadran bawah kanan dari rongga abdomen, adalah penyebab paling umum untuk bedah abdomen darurat. Kira-kira 7% dari populasi akan mengalami apendisitis pada waktu yang bersamaan dalam hidup mereka , pria lebih sering dipengaruhi daripada wanita, dan remaja lebih sering pada orang dewasa. Meskipun ini dapat terjadi pada usia berapa pun, apendisitis paling sering antara usia 10 dan 30 tahun (Suzanne, 2002).


A.    Klasifikasi (Medical Jurnal, 2005)
Klasifikasi Apendisitis ada 2 :
1.      Apendisitis akut, dibagi atas: Apendisitis akut fokalis atau segmentalis, yaitu setelah sembuh akan timbul striktur lokal. Appendisitis purulenta difusi, yaitu sudah sembuh akan bertumpuk nanah.
2.      Apendisitis kronis, dibagi atas: Apendisitis kronis fokalis atau parsial, setelah sembuh akan timbul striktur lokal. Apendisitis kronis obliteritiva yaitu appendiks miring, biasanya ditemukan pada usia tua.


A.    Anatomi, Fisiologi, & Histologi  Apendiks
Apendiks merupakan suatu evaginasi dari bagian apex sekum. Pada bagian dalamnya kadangkala ditemui valvula yang tidak konstan yang disebut valvula Gerlach. Tonjolan apendiks pada neonatus berbentuk kerucut yang menonjol dari apeks sekum sepanjang 4,5 cm. Pada masa kanak-kanak, batas apendiks dari sekum semakin jelas dan bergeser ke arah dorsal kiri. Pada orang dewasa panjang apendiks rata-rata 9-10 cm, terletak posteromedial sekum kira-kira 3 cm inferior dari valvula ileosekalis. Posisi apendiks bisa retrosekal, retroileal, subileal atau di pelvis, memberikan gambaran klinis yang tidak sama. Persarafan parasimpatis berasal dari cabang N. X yang mengikuti arteri mesenterika superior dan arteri  apendikularis, sedangkan persarafan simpatis berasal dari n. torakalis X. Perdarahan apendiks berasal dari arteri apendikularis yang merupakan arteri tanpa kolateral. Fungsi apendiks belum diketahui. Kadang-kadang disebut “tonsil abdomen” karena ditemukan banyak jaringan limfoid pada lamina propria yang seringkali menyebar ke dalam submukosa sejak intrauterine akhir kehamilan dan mencapai puncaknya kira-kira 15 tahun, yang kemudian menghilang pada usia 60 tahun. Hal ini mengakibatkan lumennya relatif kecil, sempit, dan tak teratur dan diperkirakan apendiks mempunyai peranan dalam mekanisme imunologik. Immunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh GALT (gut associated lymphoid tissue) yang terdapat di sepanjang saluran cerna termasuk apendiks, ialah IgA. Namun demikian pengangkatan apendiks tidak mempengaruhi sistem imun tubuh. Apendiks mengeluarkan cairan yang bersifat basa mengandung amilase, erepsin, dan musin. Apendiks terdiri dari membran mukosa tanpa adanya lipatan. Vili usus tidak dijumpai pada bagian ini. Apendiks mengandung sel epitel kolumnar dengan sel goblet yang mensekresikan mukus. Muskularis terdiri atas berkas-berkas longitudinal dan sirkular. Meskipun strukturnya sama dengan usus besar, apendiks mengandung lebih sedikit kelenjar usus, yang lebih pendek, dan tak memiliki taenia coli (Abdurachman, 1998; Guyton, 1997; Indratni, 2004; Junqueira, 2007; Sjamsuhidajat, 1997; Snell, 2006).




A.    Etiologi

§ Fekolit/massa fekal padat karena konsumsi diet rendah serat.
§ Tumor apendiks.
§ Cacing ascaris.
§ Erosi mukosa apendiks karena parasit E. Histolytica.
§ Hiperplasia jaringan limfe.
§ Benda Asing
§ Endometriosis
§ Infeksi oleh E.Coli & streptococcus

B.     MANIFESTASI KLINIS
·         Nyeri periumbilikalis atau epigastrik yang samar-samar yang berpindah atau menyebar ke kuadran kanan bawah
·         Anoreksia
·         Mual atau muntah yang disebabkan oleh inflamasi
·         Demam dengan derajat rendah (subfebris) akibat manifestasi sistemik inflamasi dan leukositosis (biasanya 37,8-38,8°C)
·         Tanda rovsing ( nyeri tekan lepas yang dijalarkan ) : Nyeri kuadran kanan bawah (RLQ)
·         Tanda PSOAS : nyeri RLQ dengan ekstensi pasif tungkai kanan
·         Tanda Obturator: Nyeri RLQ dengan endorotasi pasif tungkai yang di fleksikan (Endorotasi adalah gerakan ke dalam pada sekililing sumbu panjang tulang yang bersendi. (rotasi).
·         dll.






A.    Komplikasi

Komplikasi dari penyakit apendisitis menurut smeltzer & Bare, 2001 adalah :
1.      Perforasi apendiks, disebabkan ketelambatan penanganan terhadap pasien apendisits akut.
2.      Peritonitis local, disebabkan oleh mikroperforasi sementara peritonitis umum dikarenakan telah terjadi perforasi yang nyata.
3.      Abses apendiks, akibat perforasi yang bersifat local dapat terjadi saat infeksi periapendikal diliputi oleh omentum dan viseral yang berdekatan


B.     Pemeriksaan Diagnosa Penyakit ( Budi, Satria Adam, 2008 )

          Ada beberapa pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk menentukan dan mendiagnosa adanya penyakit radang usus buntu (Appendicitis). Diantaranya adalah pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan radiology:

Pemeriksaan fisik.
a.       Inspeksi: akan tampak adanya pembengkakan (swelling) rongga perut dimana dinding perut tampak mengencang (distensi).
b.      Palpasi: didaerah perut kanan bawah bila ditekan akan terasa nyeri dan bila tekanan dilepas juga akan terasa nyeri (Blumberg sign) yang mana merupakan kunci dari diagnosis apendisitis akut.
c.       Dengan tindakan tungkai kanan dan paha ditekuk kuat / tungkai di angkat tinggi-tinggi, maka rasa nyeri di perut semakin parah (psoas sign)
d.      Kecurigaan adanya peradangan usus buntu semakin bertambah bila pemeriksaan dubur dan atau vagina menimbulkan rasa nyeri juga.
e.       Suhu dubur (rectal) yang lebih tinggi dari suhu ketiak (axilla), lebih menunjang lagi adanya radang usus buntu.
f.       Pada apendiks terletak pada retro sekal maka uji Psoas akan positif dan tanda perangsangan peritoneum tidak begitu jelas, sedangkan bila apendiks terletak di rongga pelvis maka Obturator sign akan positif dan tanda perangsangan peritoneum akan lebih menonjol
g.      Psoas sign. Nyeri pada saat paha kanan pasien diekstensikan. Pasien dimiringkan kekiri. Pemeriksa meluruskan paha kanan pasien, pada saat itu ada hambatan pada pinggul / pangkal paha kanan. (A. Mansjoer, dkk. 2000)
h.      Tes Obturator. Nyeri pada rotasi kedalam secara pasif saat paha pasien difleksikan. Pemeriksa menggerakkan tungkai bawah kelateral, pada saat itu ada tahanan pada sisi samping dari lutut (tanda bintang), menghasilkan rotasi femur kedalam. (A. Mansjoer, dkk. 2000)




Pemeriksaan Laboratorium

Pada pemeriksaan laboratorium darah, yang dapat ditemukan adalah kenaikan dari sel darah putih (leukosit) hingga sekitar 10.000 – 18.000/mm3. Jika terjadi peningkatan yang lebih dari itu, maka kemungkinan apendiks sudah mengalami perforasi (pecah).

Pemeriksaan radiologi

Foto polos perut dapat memperlihatkan adanya fekalit. Namun pemeriksaan ini jarang membantu dalam menegakkan diagnosis apendisitis. Ultrasonografi (USG) cukup membantu dalam penegakkan diagnosis apendisitis, terutama untuk wanita hamil dan anak-anak. Tingkat keakuratan yang paling tinggi adalah dengan pemeriksaan CT scan (93 – 98 %). Dengan CT scan dapat terlihat jelas gambaran apendiks. Pada kasus yang kronik dapat dilakukan rontgen foto abdomen, USG abdomen dan apendikogram.

C.    Penatalaksanaan

Penatalaksanaan apendiksitis menurur Mansjoer, 2000 :       
1.      Pencegahan

Dapat di lakukan dengan banyak mengkonsumsi makanan tinggi serat seperti buah pepeya, pisang dan sayur-sayuran seperti kangkung, kacang panjang, serta menjaga kebersihan, tidak sering makan – makanan yang terlalu pedas dan asam, buang air besar secara teratur, olah raga teratur, tidak makan makanan seperti mie instan secara berlebihan.

2.      Sebelum operasi
·         Pemasangan sonde lambung untuk dekompresi
·         Pemasangan kateter untuk control produksi urin.
·         Rehidrasi
·         Antibiotic dengan spectrum luas, dosis tinggi dan diberikan secara intravena.
·         Obat-obatan penurun panas, phenergan sebagai anti menggigil, largaktil untuk membuka pembuluh – pembuluh darah perifer diberikan setelah rehidrasi tercapai.
·         Bila demam, harus diturunkan sebelum diberi anestesi.

3.      Operasi
·         Apendiktomi.
·         Apendiks dibuang, jika apendiks mengalami perforasi bebas,maka abdomen dicuci dengan garam fisiologis dan antibiotika.
·         Abses apendiks diobati dengan antibiotika IV,massanya mungkin mengecil,atau abses mungkin memerlukan drainase dalam jangka waktu beberapa hari. Apendiktomi dilakukan bila abses dilakukan operasi elektif sesudah 6 minggu sampai 3 bulan.


4.      Pasca operasi
·         Observasi TTV.
·         Angkat sonde lambung bila pasien telah sadar sehingga aspirasi cairan lambung dapat dicegah.
·         Baringkan pasien dalam posisi semi fowler.
·         Pasien dikatakan baik bila dalam 12 jam tidak terjadi gangguan, selama pasien dipuasakan.
·         Bila tindakan operasilebih besar, misalnya pada perforasi, puasa dilanjutkan sampai fungsi usus kembali normal.
·         Berikan minum mulai15ml/jam selama 4-5 jam lalu naikan menjadi 30 ml/jam. Keesokan harinya berikan makanan saring dan hari berikutnya diberikan makanan lunak.
·         Satu hari pasca operasi pasien dianjurkan untuk duduk tegak di tempat tidur selama 2×30 menit.Pada hari kedua pasien dapat berdiri dan duduk di luar kamar.
·         Hari ke-7 jahitan dapat diangkat dan pasien diperbolehkan pulang.

D.    Gambaran Umum Asuhan Keperawatan Pasien dengan Appendisitis

Asuhan keperawatan merupakan faktor kunci dalam kelangsungan kehidupan klien dan pada pelayanan kesehatan dalam aspek pemeliharaan, rehabilitasi serta pencegahan (Doengoes, 2000).

Proses keperawatan adalah metode dimana suatu konsep diterapkan dalam praktik keperawatan, hal ini disebut sebagai suatu pendekatan problem solving yang memerlukan ilmu, teknik dan ketrampilan interpersonal dan ditunjukkan untuk mengetahui kebutuhan klien dan keluarga (Nursalam, 2001).

Proses keperawatan dari lima tahap yang berhubungan yaitu pengkajian, diagnosis, perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi (Nursalam, 2001).

1.      Pengkajian

Pengkajian adalah tahap awal dari proses keperawatan dan merupakan suatu proses yang sistematis dalam pengumpulan data dari berbagai sumber data untuk mengevaluasi dan mengidentifikasi status kesehatan klien dalam pengkajian tipe pengumpulan data terdiri atas data subyektif dan data obyektif.

Ada 3 metode yang digunakan dalam pengumpulan data pada tahap pengkajian yaitu komunikasi yang efektif, observasi, dan pemeriksaan fisik (Doenges, 2000).

Menurut Doenges (2000) pengkajian pada pasien dengan :
a.       Pre Appendiktomi
1.      Aktivitas
Gejala : Malaise
2.      Sirkulasi
Tanda: Tachicardia
3.      Eliminasi
Gejala : Konstipasi pada awitan awal, diare (kadang-kadang)
Tanda : Distensi abdomen, nyeri tekan/nyeri lepas, kekakuan penurunan/ tidak ada bising usus
4.      Makanan/ cairan
Gejala : Anoreksia, mual/muntah
5.      Nyeri/ kenyamanan
Gejala: Nyeri abdomen sekitar epigastrum dan umbilikus, yang meningkat berat dan terlokalisasi pada titik Mc Burney (setelah jarak antara umbilikus dan tulang ileum kanan). Nyeri ini merupakan gejala klasik appendisitis. Mula-mula nyeri dirasakan samar-samar dan tumpul yang merupakan nyeri viseral di daerah epigastrium atau sekitar umbilicus. Setelah beberapa jam nyeri berpindah dan menetap di abdomen kanan bawah (titik Mc Burney). Nyeri akan bersifat tajam dan lebih jelas letaknya sehingga berupa nyeri somatik setempat. Bila terjadi perangsangan peritonium biasanya penderita akan mengeluh nyeri di perut pada saat berjalan atau batuk. (W. De Jong, R. Sjamsuhidajat, 2004)

Tanda : Perilaku berhati-hati, berbaring ke samping atau telentang dengan lutut ditekuk, meningkatnya nyeri pada kuadran kanan bawah karena posisi ekstensi kaki kanan/ posisi duduk tegak.

6.      Keamanan
Tanda : demam (biasanya rendah). Demam terjadi bila sudah ada komplikasi, bila belum ada komplikasi biasanya tubuh belum panas. Suhu biasanya berkisar 37,5º-38,5º C
7.      Pernafasan
Tanda : takipnea/ pernafasan dangkal
8.      Penyuluhan/ pembelajaran
Gejala : Riwayat kondisi lain yang berhubungan dengan nyeri abdomen contoh pielitis akut, batu uretra, dapat terjadi pada berbagai usia

b.      Post Appendiktomi

1.      Sirkulasi
Gejala : riwayat masalah jantung, edema pulmonal, penyakit vaskuler perifer.
2.      Integritas ego
Gejala : perasaan takut, cemas, marah, apati.
Tanda : tidak dapat beristirahat, peningkatan ketegangan/peka rangsang, stimulasi simpatis
3.      Makanan/ cairan
Gejala : insufisiensi pangkreas, malnutrisi, membran mukosa yang kering
4.      Pernafasan
Gejala : infeksi, kondisi yang kronis/batuk, merokok
5.      Keamanan
Gejala : alergi, defisiensi imun, riwayat keluarga tentang hipertermi malignan/reaksi anastesi, riwayat penyakit hepatik, riwayat transfusi darah
Tanda : munculnya proses infeksi yang melelahkah, demam

E.        Diagnosa Keperawatan
      Diagnosa pre operasi menurut Doenges, (2000). Carpenito, (2006) :

1.      Resiko kekurangan volume cairan dan elektrolit berhubungan dengan input dan output yang tidak seimbang.
2.      Hypertermi berhubungan dengan proses infeksi.
3.      Resiko nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia.
4.      Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan obstruksi apendiks.
5.      Cemas berhubungan dengan kurang pengetahuan proses pembedahan/ apendiktomy.

     Diagnosa post operasi menurut Doenges, (2000). Carpenito, (2006) :
1.      Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan adanya insisi bedah.
2.      Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan efek anestesi.
3.      Resiko nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan mual-muntah.
4.      Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan adanya insisi pembedahan.

Intervensi Keperawatan
Intervensi keperawatan pre operasi menurut Doenges, (2000) dan Carpenito ,  (2006)   yaitu :
1.      Resiko kekurangan volume cairan dan elektrolit berhubungan dengan input dan output yang tidak seimbang.
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan kebutuhan cairan dan elektrolit akan terpenuhi dengan kriteria hasil:
a.       Bibir tidak kering.
b.      Membran mukosa lembab.
c.       Turgor kulit baik.
   Intervensi:
1.      Awasi TD dan nadi.
Rasional: tanda yang membantu mengidentifikasi fluktuasi volume intravaskuler.
2.      Lihat membran mukosa, kaji turgor kulit, dan pengisian kapiler.
Rasional: indikator keadekuatan sirkulasi perifer dan hidrasi seluler.
3.      Awasi masukan dan haluaran, catat warna urine/ konsentrasi, berat jenis.
Rasional: penurunan haluaran urine pekat dengan peningkatan berat jenis diduga dehidrasi/ kebutuhan peningkatan cairan.
4.      Berikan perawatan mulut sering dengan perhatian khusus pada perlindungan bibir.
Rasional: dehidrasi mengakibatkan bibir dan mulut kering dan pecah- pecah.
5.      Kolaborasi pemberian cairan IV dan elektrolit.
Rasional: peritoneum bereaksi terhadap iritasi/ infeksi dengan menghasilkan sejumlah besar cairan yang dapat menurunkan volume sirkulasi darah, mengakibatkan hipovolemia. Dehidrasi dan dapat terjadi keseimbangan elektrolit.

2.      Hypertermi berhubungan dengan proses infeksi.
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan tidak terjadi hipertermi    dengan kriteria hasil:
a.       Suhu tubuh dalam batas normal ( 36- 37 C ).
b.      Pasien terlihat nyaman.
Intervensi:
1.      Monitor suhu tubuh.
 Rasional: mengetahui perkembangan suhu tubuh.
2.      Berikan kompres.
                Rasional: perpindahan panas secara konduksi.
3.      Anjurkan klien memakai pakaian yang tipis dan menyerap keringat.
                Rasional: pakaian tipis memungkinkan pengurangan panas secara evaporasi.
4.      Kolaborasi pemberian antipieretik.
      Rasional: antipieretik bermanfaat untuk menstabilkan termoregulasi.

3.   Resiko nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia.
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan  nutrisi akan terpenuhi dengan kriteria hasil:
a.       Nafsu makan meningkat.
b.      Berat badan normal (ideal)
c.       Tidak ada tanda mal nutrisi.
Intrevensi:
1.      Kaji kebiasaan diit dan masukan makanan.
Rasional: mengidentifikasi kekurangan nutrisi.
2.      Berikan makanan yang disukai pasien dengan porsi kecil tapi sering.
Rasional: porsi lebih kecil dapat meningkatkan asupan.
3.      Catat berat badan dan bandingkan dengan saat berikutnya.
Rasional: memberikan informasi tentang keadekuatan masukan diit/ penentuan kebutuhan nutrisi.
4.      Awasi pemeriksaan laboratorium yaitu Hb/ Ht dan elektrolit.
Rasional: indikator kebutuhan cairan/ nutrisi dan keefektifan terapi dan terjadinya komplikasi.  
Kolaborasi dengan ahli gizi untuk diit klien.
Rasional: perlu bantuan dalam perencanaan diit yang memenuhi kebutuhan nutrisi.

4.Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan obstruksi apendiks.
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan nyeri akan berkurang bahkan hilang dengan kriteria hasil
a.       Skala nyeri 0- 1.
b.      Pasien tampak nyaman.
Intervensi:
1.      Kaji nyeri, catat lokasi, karakteristik, beratnya ( . Selidiki dan laporkan perubahan nyeri dengan tepat.
Rasional: Berguna dalam pengawasan keefektifan obat, kemajuan penyembuhan. Perubahan pada karakteristik nyeri menunjukan terjadinya abses/ peritonitis, memerlukan upaya evaluasi medic dan intervensi.
2.      Ajarkan teknik relaksasi dan distraksi.
Rasional: meningkatkan relaksasi membantu memfokuskan kembali perhatian dan dapat meningkatkan koping.
3.      Anjurkan klien untuk mengulang teknik tersebut apabila nyeri timbul.
Rasional: mengupayakan kemandirian pasien dapat mengontrol nyeri.
4.      Monitor tanda- tanda vital.
Rasional: nadi, tekanan darah, dan pernapasan yang meningkat merupakan indikasi adanya nyeri.
5.      Kolaborasi pemberian analgetik.
Rasional: analgetik membantu mengurangi rasa nyeri yang dirasakan.   
   
5. Cemas berhubungan dengan kurang pengetahuan proses pembedahan/ apendiktomy.
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan pengetahuan meningkat dengan kriteria hasil:
a.       Klien menyatakan pemahaman mengenai pengobatan.
b.      Klien akan Berpartisipasi dengan program pengobatan.


Intervensi:
1.      Jelaskan tentang proses penatalaksanaan penyakit pasien.
Rasional : menambah pengetahuan klien mengenai penatalaksanaannya
2.      Berikan informasi tentang efek dari pembedahan
Rasional : menambah pengetahuan klien mengenai keadaan yang dialaminya
3.      Beri kesempatan pada klien untuk memperbincangkan     tentang masalahnya
Rasional : untuk menentukan tindakan lebih lanjut
4.      Berikan informasi lebih lanjut pada klien dan keluarga mengenai keadaan dirinya
Rasional : mencegah kecemasan pada klien
5.      Dorong klien untuk menanyakan kedokter salama di rawat di rumah sakit
Rasional : Untuk mengklarifikasi kekhatiran dan memberikan akses kepada penjelasan yang spesifik.



Intervensi keperawatan post operasi menurut Doenges, (2000) Carpenito  (2006)  yaitu :

1.   Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan adanya insisi bedah.
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan nyeri akan berkurang bahkan hilang dengan kriteria hasil :
a.       Skala nyeri 0- 1.
b.      Pasien tampak nyaman.
Intervensi:
1.      Kaji nyeri, catat lokasi, karakteristik, beratnya ( . Selidiki dan laporkan perubahan nyeri dengan tepat.
Rasional: Berguna dalam pengawasan keefektifan obat, kemajuan penyembuhan. Perubahan pada karakteristik nyeri menunjukan terjadinya abses/ peritonitis, memerlukan upaya evaluasi medic dan intervensi.
2.      Ajarkan teknik relaksasi dan distraksi.
Rasional: meningkatkan relaksasi membantu memfokuskan kembali perhatian dan dapat meningkatkan koping.
3.      Anjurkan klien untuk mengulang teknik tersebut apabila nyeri timbul.
Rasional: mengupayakan kemandirian pasien dapat mengontrol nyeri.
4.      Monitor tanda- tanda vital.
Rasional: nadi, tekanan darah, dan pernapasan yang meningkat merupakan indikasi adanya nyeri.
5.      Kolaborasi pemberian analgetik.
Rasional: analgetik membantu mengurangi rasa nyeri yang dirasakan.

2.   Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan efek anestesi.
Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan gangguan mobilitas dapat diatasi dengan kriteria hasil :
         a. Klien menunjukan kemampuan aktivitas.
Intervensi:
1.      Kaji ulang tingkat aktifitas klien.
Rasional : gangguan fungsi motorik bermacam macam, pada lokasi trauma mempengaruhi tipe dan pemilihan intervensi.
2.      Ajarkan tirah baring pada klien( latihan ROM).
Rasional : meningkatkan aliran darah kesemua daerah.
3.      Libatkan keluarga dalam ADL klien.
Rasional : meningkatkan kekuatan otot dan sirkulasi, meningkatkan kontrol pasien dalam situasi dan meningkatkan kesehatan diri langsung.

3.   Resiko nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia.
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan  nutrisi akan terpenuhi dengan kriteria hasil:
a.       Nafsu makan meningkat.
b.      Berat badan normal (ideal)
c.       tidak ada tanda mal nutrisi.
Intrevensi:
1.      Kaji kebiasaan diit dan masukan makanan.
Rasional: mengidentifikasi kekurangan nutrisi.
2.      Berikan makanan yang disukai pasien dengan porsi kecil tapi sering.
Rasional: porsi lebih kecil dapat meningkatkan asupan.
3.      Catat berat badan dan bandingkan dengan saat berikutnya.
Rasional: memberikan informasi tentang keadekuatan masukan diit/ penentuan kebutuhan nutrisi.
4.      Awasi pemeriksaan laboratorium yaitu Hb/ Ht dan elektrolit.
Rasional: indikator kebutuhan cairan/ nutrisi dan keefektifan terapi dan terjadinya komplikasi.  
5.      Kolaborasi dengan ahli gizi untuk diit klien.
Rasional: perlu bantuan dalam perencanaan diit yang memenuhi kebutuhan nutrisi.
4.   Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan adanya insisi pembedahan.
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan kebutuhan cairan dan elektrolit akan terpenuhi dengan kriteria hasil:
a.       Bebas dari tanda- tanda infeksi.
b.      Tanda- tanda vital normal.
Intervensi:
1.      Awasi tanda vital. Perhatikan demam, menggigil, berkeringat, perubahan mental, meningkatnya nyeri abdomen.
Rasional: dugaan adanya inveksi/ terjadinya sepsis, abses, peritonotis.
2.      Lihat insisi dan balutan. Catat karakteristik drainase luka/ drein ( bila dimasukan ), adanya eritema.
Rasional: memberikan deteksi dini terjadinya proses infeksi, dan atau pemgawasan penyembuhan peritonitis yang telah ada sebelumnya.
3.      Pertahankan perawatan luka setiap hari dan pertahankan balutan kering.
Rasional: melindungi pasien dari kontaminasi silang selama penggantian balutan. Balutan basah bertindak sebagai sumbu retrograd, memyerap kontaminan ekstrenal.
4.      Kolaborasi pemberian antibiotik.
Rasional: diberikan secara profilaktik dan untuk mengatasi infeksi


BAB III
PENUTUP

1.      Simpulan

Apendisitis adalah peradangan dari apendiks vermiformis, dan merupakan penyebab abdomen akut yang paling sering. Apenditis merupakan infeksi bakteri. Berbagai hal yang berperan sebagai penyebabnya adalah (obstruksi lumen apendiks faktor yang diajukan sebagai faktor pencetus kebiasaan makan-makanan rendah serat dan pengaruh konstipasi, erosi mukosa apendiks karena parasit ).

2.      Saran

Karena apendisitis salah satunya disebabkan karena kurang mengkonsumsi makanan yang banyak mengandung serat, maka kami menyarankan pembaca banyak mengkonsumsi makanan yang mengandung banyak serat. Selain itu infeksi karena cacing dapat di atasi denga mengkonsumsi obat cacing untuk mengurangu perkembangbiakan cacing di dalam kolon.
























DAFTAR PUSTAKA

1.      Brunner dan Sudarth. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 8, Volume 2, Alih Bahasa dr. H. Y. Kureasa, Editor Monica Ester, SKp. Jakarta : EGC.
2.      Carpenito , LJ. 2006. Rencana Asuhan dan Dokumentasi Keperawatan Diagnosa Keperawatan dan Masalah Kalaboratif , Edisi 10 . EGC : Jakarta.
3.      Doenges Marilyn, 2000, Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien, Edisi III, Jakarta : EGC.
4.      Ester, Monica. 2002. Keperawatan Medikal Bedah Pendekatan Sistem     Gastrointestinal.EGC: Jakarta.
5.      Irianto Kus. 2004. Struktur dan Fungsi Tubuh Untuk Paramedis. Yrama Widya : Bandung.
6.      Inayah, Iin. 2004. Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan Sistem Pencernaan.Salemba Medika: Jakarta.
7.      Oswari, E.. 2005. Bedah dan Keperawatannya. Balai Penerbit FKUI : Jakarta.
8.      Rudolph, Abraham, M.dkk..2007. Buku Ajaran Pediatri Rudolph, Volume 2, Edisi 20, Buku Kedokteran. EGC : Jakarta.
9.      R. Sjamsuhidajat, Wim de Jong. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi II, Jakarta : EGC.

 



 

 



 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar