BAB
I
PENDAHULUAN
1.
Latar belakang
Appendiks merupakan suatu
bagian sepertoi kantong yang non fungsional dan terletak di bagian inferior
seikum (smeltzer, 2002).
Berdasarkan data WHO tahun
2005 didapatkan bahwa jumlah penderita apendiksitis berjumlah sekitar 50
%. Adapun jumlah penderita penyakit apendiksitis pada tahun 2009 di Indonesia berjumlah sekitar 27% dari jumlah
penduduk Indonesia, di Kalimantan Timur berjumlah 26% dari
jumlah penduduk di Kalimantan Timur, di Samarinda berjumlah 25% dari jumlah
penduduk Samarinda.
Penyakit radang usus buntu
ini umumnya disebabkan oleh infeksi bakteri, namun faktor pencetusnya ada
beberapa kemungkinan yang sampai sekarang belum dapat diketahui secara pasti.
Di antaranya faktor penyumbatan (obstruksi) pada lapisan saluran (lumen)
appendiks oleh timbunan tinja/feces yang keras (fekalit), hyperplasia
(pembesaran) jaringan limfoid, penyakit cacing, parasit, benda asing dalam
tubuh, cancer primer dan striktur. Diantara beberapa faktor diatas, maka yang
paling sering ditemukan dan kuat dugaannya sebagai penyabab adalah faktor
penyumbatan oleh tinja/feces dan hyperplasia jaringan limfoid. Penyumbatan atau
pembesaran inilah yang menjadi media bagi bakteri untuk berkembang biak. Perlu
diketahui bahwa dalam tinja/feces manusia sangat mungkin sekali telah tercemari
oleh bakteri/kuman Escherichia Coli, inilah yang sering kali mengakibatkan
infeksi yang berakibat pada peradangan usus buntu. Makan cabai bersama bijinya
atau jambu klutuk beserta bijinya sering kali tak tercerna dalam tinja dan
menyelinap kesaluran appendiks sebagai benda asin, Begitu pula terjadinya
pengerasan tinja/feces (konstipasi) dalam waktu lama sangat mungkin ada
bagiannya yang terselip masuk kesaluran appendiks yang pada akhirnya menjadi
media kuman/bakteri bersarang dan berkembang biak sebagai infeksi yang
menimbulkan peradangan usus buntu tersebut.
Pembedahan segera
dilakukan, untuk mencegah terjadinya ruptur (peca), terbentuknya abses atau
peradangan pada selaput rongga perut (peritonitis). Pada hampir 15% pembedahan
usus buntu, usus buntunya ditemukan normal. Tetapi penundaan pembedahan sampai
ditemukan penyebab nyeri perutnya, dapat berakibat fatal. Usus buntu yang
terinfeksi bisa pecah dalam waktu kurang dari 24 jam setelah gejalanya timbul.
Bahkan meskipun apendisitis bukan penyebabnya, usus buntu tetap diangkat. Lalu
dokter bedah akan memeriksa perut dan mencoba menentukan penyebab nyeri yang
sebenarnya. Pembedahan yang segera dilakukan bisa mengurangi angka
kematian pada apendisitis. Penderita dapat pulang dari rumah sakit dalam waktu
2-3 hari dan penyembuhan biasanya cepat dan sempurna. Usus buntu yang pecah,
prognosisnya lebih serius. 50 tahun yang lalu, kasus yang ruptur sering
berakhir fatal. Dengan pemberian antibiotik, angka kematian mendekati nol.(medicastore)
Dari fakta diatas, maka
penulis tertarik untuk mengangkat asuhan keperawatan pada klien dengan kasus
apendiksitis.
1. Tujuan penulisan
a. Tujuan umum
Mengetahui asuhan
keperawatan klien dengan apendiksitis
b. Tujuan khusus
·
Melakukan pengkajian keperawatan
pada dengan Appendiksitis.
·
Merumuskan diagnosa
keperawatan yang tepat pada klien dengan Appendiksitis.
·
Menetapkan perencanaan
keperawatan pada klien dengan Appendiksitis.
·
Melaksanakan tindakan
keperawatan pada klien dengan Appendiksitis.
·
Melakukan evaluasi tindakan keperawatan yang telah dilakukan pada klien dengan
Appendiksitis.
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
A. Pengertian
Apendisitis adalah kondisi di mana infeksi terjadi di umbai cacing. Dalam kasus ringan dapat sembuh tanpa perawatan, tetapi banyak kasus memerlukan laparotomi dengan penyingkiran umbai cacing yang terinfeksi. Bila tidak terawat, angka kematian cukup tinggi, dikarenakan oleh peritonitis dan shock ketika umbai cacing yang terinfeksi hancur. (Anonim, Apendisitis, 2007)
Apendisitis adalah peradangan akibat infeksi pada usus buntu atau umbai
cacing (apendiks). Infeksi ini bisa mengakibatkan pernanahan. Bila infeksi
bertambah parah, usus buntu itu bisa pecah. Usus buntu merupakan saluran usus
yang ujungnya buntu dan menonjol dari bagian awal usus besar atau sekum
(cecum). Usus buntu besarnya sekitar kelingking tangan dan terletak di perut
kanan bawah. Strukturnya seperti bagian usus lainnya. Namun, lendirnya banyak
mengandung kelenjar yang senantiasa mengeluarkan lendir. (Anonim, Apendisitis,
2007)
Apendisitis merupakan peradangan pada usus buntu/apendiks ( Anonim,
Apendisitis, 2007)
Apendiks adalah ujung
seperti jari yang kecil panjangnya kira-kira 10 cm (4 inci), melekat pada sekum
tepat di bawah katup ileosekal. Apendiks berisi makanan dan mengosongkan diri
secara teratur ke dalam sekum. Karena pengosongannya tidak efektif, dan
lumennya kecil, apendiks cenderung menjadi tersumbat dan terutama rentan
terhadap infeksi (apendisitis) (Suzanne, 2002).
Apendisitis merupakan
merupakan peradangan pada apendiks (kantung buntu pada caecum) yang dapat
menjadi keadaan darurat, khususnya dalam pembedahan pada anak. Secara umum
apendiks ini melekat pada caecum, dan pada anak umumnya tidak lurus dan
memperlihatkan sebuah lipatan. Apabila terjadi peradangan apendiks maka akan
terjadi akumulasi dari eksudat purulen dalam lumen dan dapat terjadi obstruksi,
akibatnya suplai darah berkurang, pembuluh darah juga akan mengalami kerusakan
(Hidayat, 2008).
Apendisitis adalah
peradangan dari apendiks vermiformis, dan merupakan penyebab abdomen akut yang
paling sering. Penyakit ini dapat mengenai semua umur baik laki-laki maupun
perempuan (Mansjoer, 2000).
Apendisitis, penyebab
paling umum inflamasi akut pada kuadran bawah kanan dari rongga abdomen, adalah
penyebab paling umum untuk bedah abdomen darurat. Kira-kira 7% dari populasi
akan mengalami apendisitis pada waktu yang bersamaan dalam hidup mereka , pria
lebih sering dipengaruhi daripada wanita, dan remaja lebih sering pada orang
dewasa. Meskipun ini dapat terjadi pada usia berapa pun, apendisitis paling
sering antara usia 10 dan 30 tahun (Suzanne, 2002).
A. Klasifikasi (Medical Jurnal, 2005)
Klasifikasi Apendisitis ada 2 :
1. Apendisitis akut, dibagi atas: Apendisitis akut fokalis
atau segmentalis, yaitu setelah sembuh akan timbul striktur lokal. Appendisitis
purulenta difusi, yaitu sudah sembuh akan bertumpuk nanah.
2. Apendisitis kronis, dibagi atas: Apendisitis kronis
fokalis atau parsial, setelah sembuh akan timbul striktur lokal. Apendisitis
kronis obliteritiva yaitu appendiks miring, biasanya ditemukan pada usia tua.
A. Anatomi,
Fisiologi, & Histologi Apendiks
Apendiks merupakan suatu evaginasi dari bagian apex sekum. Pada bagian
dalamnya kadangkala ditemui valvula yang tidak konstan yang disebut valvula
Gerlach. Tonjolan apendiks pada neonatus berbentuk kerucut yang menonjol dari
apeks sekum sepanjang 4,5 cm. Pada masa kanak-kanak, batas apendiks dari sekum
semakin jelas dan bergeser ke arah dorsal kiri. Pada orang dewasa panjang
apendiks rata-rata 9-10 cm, terletak posteromedial sekum kira-kira 3 cm
inferior dari valvula ileosekalis. Posisi apendiks bisa retrosekal, retroileal,
subileal atau di pelvis, memberikan gambaran klinis yang tidak sama. Persarafan
parasimpatis berasal dari cabang N. X yang mengikuti arteri mesenterika
superior dan arteri apendikularis,
sedangkan persarafan simpatis berasal dari n. torakalis X. Perdarahan apendiks
berasal dari arteri apendikularis yang merupakan arteri tanpa kolateral. Fungsi
apendiks belum diketahui. Kadang-kadang disebut “tonsil abdomen” karena
ditemukan banyak jaringan limfoid pada lamina propria yang seringkali menyebar
ke dalam submukosa sejak intrauterine akhir kehamilan dan mencapai puncaknya
kira-kira 15 tahun, yang kemudian menghilang pada usia 60 tahun. Hal ini
mengakibatkan lumennya relatif kecil, sempit, dan tak teratur dan diperkirakan
apendiks mempunyai peranan dalam mekanisme imunologik. Immunoglobulin sekretoar
yang dihasilkan oleh GALT (gut associated lymphoid tissue) yang terdapat di
sepanjang saluran cerna termasuk apendiks, ialah IgA. Namun demikian
pengangkatan apendiks tidak mempengaruhi sistem imun tubuh. Apendiks
mengeluarkan cairan yang bersifat basa mengandung amilase, erepsin, dan musin.
Apendiks terdiri dari membran mukosa tanpa adanya lipatan. Vili usus tidak
dijumpai pada bagian ini. Apendiks mengandung sel epitel kolumnar dengan sel
goblet yang mensekresikan mukus. Muskularis terdiri atas berkas-berkas
longitudinal dan sirkular. Meskipun strukturnya sama dengan usus besar, apendiks
mengandung lebih sedikit kelenjar usus, yang lebih pendek, dan tak memiliki
taenia coli (Abdurachman, 1998; Guyton,
1997; Indratni, 2004; Junqueira, 2007; Sjamsuhidajat, 1997; Snell, 2006).
A.
Etiologi
§
Fekolit/massa
fekal padat karena konsumsi diet rendah serat.
§
Tumor
apendiks.
§
Cacing
ascaris.
§
Erosi
mukosa apendiks karena parasit E. Histolytica.
§
Hiperplasia
jaringan limfe.
§
Benda
Asing
§
Endometriosis
§
Infeksi
oleh E.Coli & streptococcus
B.
MANIFESTASI KLINIS
·
Nyeri
periumbilikalis atau epigastrik yang samar-samar yang berpindah atau menyebar
ke kuadran kanan bawah
·
Anoreksia
·
Mual
atau muntah yang disebabkan oleh inflamasi
·
Demam
dengan derajat rendah (subfebris) akibat manifestasi sistemik inflamasi dan
leukositosis (biasanya 37,8-38,8°C)
·
Tanda
rovsing ( nyeri tekan lepas yang dijalarkan ) : Nyeri kuadran kanan bawah (RLQ)
·
Tanda
PSOAS : nyeri RLQ dengan ekstensi pasif tungkai kanan
·
Tanda
Obturator: Nyeri RLQ dengan endorotasi pasif tungkai yang di fleksikan (Endorotasi adalah gerakan ke dalam pada sekililing
sumbu panjang tulang yang bersendi. (rotasi).
·
dll.
A. Komplikasi
Komplikasi dari penyakit
apendisitis menurut smeltzer & Bare,
2001 adalah :
1. Perforasi apendiks, disebabkan ketelambatan penanganan
terhadap pasien apendisits akut.
2. Peritonitis local, disebabkan oleh mikroperforasi
sementara peritonitis umum dikarenakan telah terjadi perforasi yang nyata.
3. Abses apendiks, akibat perforasi yang bersifat local
dapat terjadi saat infeksi periapendikal diliputi oleh omentum dan viseral yang
berdekatan
B.
Pemeriksaan Diagnosa
Penyakit ( Budi, Satria Adam, 2008 )
Ada beberapa pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk menentukan dan
mendiagnosa adanya penyakit radang usus buntu (Appendicitis). Diantaranya
adalah pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan radiology:
Pemeriksaan
fisik.
a. Inspeksi: akan tampak
adanya pembengkakan (swelling) rongga perut dimana dinding perut tampak
mengencang (distensi).
b. Palpasi: didaerah perut
kanan bawah bila ditekan akan terasa nyeri dan bila tekanan dilepas juga akan
terasa nyeri (Blumberg sign) yang mana merupakan kunci dari diagnosis
apendisitis akut.
c. Dengan tindakan tungkai
kanan dan paha ditekuk kuat / tungkai di angkat tinggi-tinggi, maka rasa nyeri
di perut semakin parah (psoas sign)
d. Kecurigaan adanya
peradangan usus buntu semakin bertambah bila pemeriksaan dubur dan atau vagina
menimbulkan rasa nyeri juga.
e. Suhu dubur (rectal) yang
lebih tinggi dari suhu ketiak (axilla), lebih menunjang lagi adanya radang usus
buntu.
f. Pada apendiks terletak pada
retro sekal maka uji Psoas akan positif dan tanda perangsangan peritoneum tidak
begitu jelas, sedangkan bila apendiks terletak di rongga pelvis maka Obturator
sign akan positif dan tanda perangsangan peritoneum akan lebih menonjol
g. Psoas sign. Nyeri pada saat
paha kanan pasien diekstensikan. Pasien dimiringkan kekiri. Pemeriksa
meluruskan paha kanan pasien, pada saat itu ada hambatan pada pinggul / pangkal
paha kanan. (A. Mansjoer, dkk. 2000)
h. Tes Obturator. Nyeri pada
rotasi kedalam secara pasif saat paha pasien difleksikan. Pemeriksa
menggerakkan tungkai bawah kelateral, pada saat itu ada tahanan pada sisi
samping dari lutut (tanda bintang), menghasilkan rotasi femur kedalam. (A. Mansjoer,
dkk. 2000)
Pemeriksaan
Laboratorium
Pada pemeriksaan laboratorium darah, yang
dapat ditemukan adalah kenaikan dari sel darah putih (leukosit) hingga sekitar
10.000 – 18.000/mm3. Jika terjadi peningkatan yang lebih dari itu, maka
kemungkinan apendiks sudah mengalami perforasi (pecah).
Pemeriksaan
radiologi
Foto polos perut dapat memperlihatkan adanya
fekalit. Namun pemeriksaan ini jarang membantu dalam menegakkan diagnosis
apendisitis. Ultrasonografi (USG) cukup membantu dalam penegakkan diagnosis
apendisitis, terutama untuk wanita hamil dan anak-anak. Tingkat keakuratan yang
paling tinggi adalah dengan pemeriksaan CT scan (93 – 98 %). Dengan CT scan
dapat terlihat jelas gambaran apendiks. Pada kasus yang kronik dapat dilakukan
rontgen foto abdomen, USG abdomen dan apendikogram.
C.
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan apendiksitis menurur
Mansjoer, 2000 :
1. Pencegahan
Dapat di lakukan dengan banyak mengkonsumsi
makanan tinggi serat seperti buah pepeya, pisang dan sayur-sayuran seperti
kangkung, kacang panjang, serta menjaga kebersihan, tidak sering makan –
makanan yang terlalu pedas dan asam, buang air besar secara teratur, olah raga
teratur, tidak makan makanan seperti mie instan secara berlebihan.
2. Sebelum operasi
·
Pemasangan
sonde lambung untuk dekompresi
·
Pemasangan
kateter untuk control produksi urin.
·
Rehidrasi
·
Antibiotic
dengan spectrum luas, dosis tinggi dan diberikan secara intravena.
·
Obat-obatan
penurun panas, phenergan sebagai anti menggigil, largaktil untuk membuka
pembuluh – pembuluh darah perifer diberikan setelah rehidrasi tercapai.
·
Bila
demam, harus diturunkan sebelum diberi anestesi.
3. Operasi
·
Apendiktomi.
·
Apendiks
dibuang, jika apendiks mengalami perforasi bebas,maka abdomen dicuci dengan
garam fisiologis dan antibiotika.
·
Abses
apendiks diobati dengan antibiotika IV,massanya mungkin mengecil,atau abses
mungkin memerlukan drainase dalam jangka waktu beberapa hari. Apendiktomi
dilakukan bila abses dilakukan operasi elektif sesudah 6 minggu sampai 3 bulan.
4. Pasca operasi
·
Observasi
TTV.
·
Angkat
sonde lambung bila pasien telah sadar sehingga aspirasi cairan lambung dapat
dicegah.
·
Baringkan
pasien dalam posisi semi fowler.
·
Pasien
dikatakan baik bila dalam 12 jam tidak terjadi gangguan, selama pasien
dipuasakan.
·
Bila
tindakan operasilebih besar, misalnya pada perforasi, puasa dilanjutkan sampai
fungsi usus kembali normal.
·
Berikan
minum mulai15ml/jam selama 4-5 jam lalu naikan menjadi 30 ml/jam. Keesokan
harinya berikan makanan saring dan hari berikutnya diberikan makanan lunak.
·
Satu
hari pasca operasi pasien dianjurkan untuk duduk tegak di tempat tidur selama
2×30 menit.Pada hari kedua pasien dapat berdiri dan duduk di luar kamar.
·
Hari
ke-7 jahitan dapat diangkat dan pasien diperbolehkan pulang.
D. Gambaran Umum Asuhan
Keperawatan Pasien dengan Appendisitis
Asuhan keperawatan merupakan faktor kunci dalam
kelangsungan kehidupan klien dan pada pelayanan kesehatan dalam aspek
pemeliharaan, rehabilitasi serta pencegahan (Doengoes, 2000).
Proses keperawatan adalah metode dimana suatu konsep
diterapkan dalam praktik keperawatan, hal ini disebut sebagai suatu pendekatan
problem solving yang memerlukan ilmu, teknik dan ketrampilan interpersonal dan
ditunjukkan untuk mengetahui kebutuhan klien dan keluarga (Nursalam, 2001).
Proses keperawatan dari lima tahap yang berhubungan
yaitu pengkajian, diagnosis, perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi (Nursalam,
2001).
1.
Pengkajian
Pengkajian adalah tahap awal dari proses keperawatan
dan merupakan suatu proses yang sistematis dalam pengumpulan data dari berbagai
sumber data untuk mengevaluasi dan mengidentifikasi status kesehatan klien
dalam pengkajian tipe pengumpulan data terdiri atas data subyektif dan data
obyektif.
Ada 3 metode yang digunakan dalam pengumpulan data
pada tahap pengkajian yaitu komunikasi yang efektif, observasi, dan pemeriksaan
fisik (Doenges, 2000).
Menurut Doenges (2000) pengkajian pada pasien dengan
:
a. Pre
Appendiktomi
1.
Aktivitas
Gejala
: Malaise
2.
Sirkulasi
Tanda:
Tachicardia
3.
Eliminasi
Gejala
: Konstipasi pada awitan awal, diare (kadang-kadang)
Tanda : Distensi abdomen, nyeri tekan/nyeri lepas,
kekakuan penurunan/ tidak ada bising usus
4.
Makanan/ cairan
Gejala
: Anoreksia, mual/muntah
5.
Nyeri/ kenyamanan
Gejala: Nyeri abdomen sekitar epigastrum dan
umbilikus, yang meningkat berat dan terlokalisasi pada titik Mc Burney (setelah
jarak antara umbilikus dan tulang ileum kanan). Nyeri ini merupakan gejala
klasik appendisitis. Mula-mula nyeri dirasakan samar-samar dan tumpul yang
merupakan nyeri viseral di daerah epigastrium atau sekitar umbilicus. Setelah
beberapa jam nyeri berpindah dan menetap di abdomen kanan bawah (titik Mc
Burney). Nyeri akan bersifat tajam dan lebih jelas letaknya sehingga berupa
nyeri somatik setempat. Bila terjadi perangsangan peritonium biasanya penderita
akan mengeluh nyeri di perut pada saat berjalan atau batuk. (W. De Jong, R.
Sjamsuhidajat, 2004)
Tanda : Perilaku berhati-hati, berbaring ke samping
atau telentang dengan lutut ditekuk, meningkatnya nyeri pada kuadran kanan
bawah karena posisi ekstensi kaki kanan/ posisi duduk tegak.
6.
Keamanan
Tanda : demam (biasanya rendah). Demam terjadi bila
sudah ada komplikasi, bila belum ada komplikasi biasanya tubuh belum panas.
Suhu biasanya berkisar 37,5º-38,5º C
7.
Pernafasan
Tanda
: takipnea/ pernafasan dangkal
8.
Penyuluhan/ pembelajaran
Gejala : Riwayat kondisi lain yang berhubungan
dengan nyeri abdomen contoh pielitis akut, batu uretra, dapat terjadi pada
berbagai usia
b. Post Appendiktomi
1.
Sirkulasi
Gejala
: riwayat masalah jantung, edema pulmonal, penyakit vaskuler perifer.
2.
Integritas ego
Gejala
: perasaan takut, cemas, marah, apati.
Tanda : tidak dapat beristirahat, peningkatan
ketegangan/peka rangsang, stimulasi simpatis
3.
Makanan/ cairan
Gejala
: insufisiensi pangkreas, malnutrisi, membran mukosa yang kering
4.
Pernafasan
Gejala
: infeksi, kondisi yang kronis/batuk, merokok
5.
Keamanan
Gejala : alergi, defisiensi imun, riwayat keluarga
tentang hipertermi malignan/reaksi anastesi, riwayat penyakit hepatik, riwayat
transfusi darah
Tanda : munculnya proses infeksi yang melelahkah,
demam
E.
Diagnosa Keperawatan
Diagnosa pre operasi menurut Doenges, (2000). Carpenito, (2006) :
1. Resiko kekurangan volume cairan dan elektrolit berhubungan dengan
input dan output yang tidak seimbang.
2. Hypertermi berhubungan dengan proses infeksi.
3. Resiko nutrisi
kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia.
4. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan obstruksi
apendiks.
5. Cemas berhubungan
dengan kurang
pengetahuan proses pembedahan/ apendiktomy.
Diagnosa post operasi menurut Doenges, (2000). Carpenito, (2006) :
1. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan adanya
insisi bedah.
2. Gangguan mobilitas fisik
berhubungan dengan efek anestesi.
3. Resiko nutrisi
kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan mual-muntah.
4. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan adanya insisi
pembedahan.
Intervensi
Keperawatan
Intervensi keperawatan pre operasi menurut Doenges, (2000) dan Carpenito
, (2006) yaitu :
1. Resiko kekurangan volume cairan dan elektrolit berhubungan dengan
input dan output yang tidak seimbang.
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan kebutuhan cairan dan elektrolit akan terpenuhi dengan
kriteria hasil:
a. Bibir tidak kering.
b. Membran mukosa lembab.
c. Turgor kulit baik.
Intervensi:
1. Awasi TD dan nadi.
Rasional: tanda yang
membantu mengidentifikasi fluktuasi volume intravaskuler.
2. Lihat membran mukosa, kaji turgor kulit, dan pengisian
kapiler.
Rasional: indikator
keadekuatan sirkulasi perifer dan hidrasi seluler.
3. Awasi masukan dan haluaran, catat warna urine/
konsentrasi, berat jenis.
Rasional: penurunan haluaran urine pekat dengan
peningkatan berat jenis diduga dehidrasi/ kebutuhan peningkatan cairan.
4. Berikan perawatan mulut sering dengan perhatian khusus
pada perlindungan bibir.
Rasional: dehidrasi mengakibatkan
bibir dan mulut kering dan pecah- pecah.
5. Kolaborasi
pemberian cairan IV dan elektrolit.
Rasional: peritoneum bereaksi terhadap iritasi/ infeksi
dengan menghasilkan sejumlah besar cairan yang dapat menurunkan volume
sirkulasi darah, mengakibatkan hipovolemia. Dehidrasi dan dapat terjadi
keseimbangan elektrolit.
2. Hypertermi
berhubungan dengan proses infeksi.
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan tidak terjadi hipertermi dengan kriteria hasil:
a. Suhu
tubuh dalam batas normal ( 36- 37 C ).
b. Pasien
terlihat nyaman.
Intervensi:
1. Monitor suhu tubuh.
Rasional: mengetahui perkembangan suhu tubuh.
2. Berikan kompres.
Rasional:
perpindahan panas secara konduksi.
3. Anjurkan
klien memakai pakaian yang tipis dan menyerap keringat.
Rasional:
pakaian tipis memungkinkan pengurangan panas secara evaporasi.
4. Kolaborasi
pemberian antipieretik.
Rasional: antipieretik
bermanfaat untuk menstabilkan termoregulasi.
3. Resiko nutrisi
kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia.
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan nutrisi akan terpenuhi dengan kriteria hasil:
a. Nafsu makan meningkat.
b. Berat badan normal (ideal)
c. Tidak
ada tanda mal nutrisi.
Intrevensi:
1. Kaji kebiasaan diit dan masukan makanan.
Rasional:
mengidentifikasi kekurangan nutrisi.
2. Berikan makanan yang disukai pasien dengan porsi kecil
tapi sering.
Rasional: porsi lebih
kecil dapat meningkatkan asupan.
3. Catat berat badan dan bandingkan dengan saat berikutnya.
Rasional: memberikan informasi tentang keadekuatan
masukan diit/ penentuan kebutuhan nutrisi.
4. Awasi pemeriksaan laboratorium yaitu Hb/ Ht dan
elektrolit.
Rasional: indikator kebutuhan cairan/ nutrisi dan
keefektifan terapi dan terjadinya komplikasi.
Kolaborasi dengan ahli gizi untuk diit klien.
Rasional: perlu bantuan
dalam perencanaan diit yang memenuhi kebutuhan nutrisi.
4.Gangguan rasa nyaman
nyeri berhubungan dengan obstruksi apendiks.
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan nyeri akan berkurang bahkan hilang dengan kriteria hasil
a. Skala
nyeri 0- 1.
b. Pasien
tampak nyaman.
Intervensi:
1. Kaji nyeri, catat lokasi, karakteristik, beratnya ( .
Selidiki dan laporkan perubahan nyeri dengan tepat.
Rasional:
Berguna dalam pengawasan keefektifan obat, kemajuan penyembuhan. Perubahan pada
karakteristik nyeri menunjukan terjadinya abses/ peritonitis, memerlukan upaya
evaluasi medic dan intervensi.
2. Ajarkan
teknik relaksasi dan distraksi.
Rasional: meningkatkan relaksasi membantu
memfokuskan kembali perhatian dan dapat meningkatkan koping.
3. Anjurkan
klien untuk mengulang teknik tersebut apabila nyeri timbul.
Rasional:
mengupayakan kemandirian pasien dapat mengontrol nyeri.
4. Monitor
tanda- tanda vital.
Rasional: nadi, tekanan darah, dan pernapasan yang meningkat
merupakan indikasi adanya nyeri.
5. Kolaborasi
pemberian analgetik.
Rasional:
analgetik membantu mengurangi rasa nyeri yang dirasakan.
5. Cemas berhubungan
dengan kurang
pengetahuan proses pembedahan/ apendiktomy.
Tujuan: Setelah
dilakukan tindakan keperawatan diharapkan pengetahuan meningkat dengan kriteria hasil:
a. Klien
menyatakan pemahaman mengenai pengobatan.
b. Klien akan Berpartisipasi dengan program pengobatan.
Intervensi:
1. Jelaskan tentang proses penatalaksanaan penyakit pasien.
Rasional : menambah pengetahuan klien mengenai penatalaksanaannya
2. Berikan informasi tentang efek dari pembedahan
Rasional : menambah
pengetahuan klien mengenai keadaan yang dialaminya
3. Beri kesempatan pada klien
untuk memperbincangkan tentang masalahnya
Rasional : untuk menentukan
tindakan lebih lanjut
4. Berikan informasi lebih
lanjut pada klien dan keluarga mengenai keadaan dirinya
Rasional : mencegah
kecemasan pada klien
5. Dorong klien untuk
menanyakan kedokter salama di rawat di rumah sakit
Rasional
: Untuk mengklarifikasi kekhatiran dan memberikan akses kepada penjelasan yang
spesifik.
Intervensi keperawatan post operasi menurut
Doenges, (2000) Carpenito (2006) yaitu :
1. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan adanya insisi bedah.
Tujuan: Setelah
dilakukan tindakan keperawatan diharapkan nyeri
akan berkurang bahkan hilang dengan kriteria hasil :
a. Skala
nyeri 0- 1.
b. Pasien
tampak nyaman.
Intervensi:
1.
Kaji nyeri, catat
lokasi, karakteristik, beratnya ( . Selidiki dan laporkan perubahan nyeri dengan
tepat.
Rasional: Berguna dalam pengawasan keefektifan obat,
kemajuan penyembuhan. Perubahan pada karakteristik nyeri menunjukan terjadinya
abses/ peritonitis, memerlukan upaya evaluasi medic dan intervensi.
2.
Ajarkan teknik relaksasi dan distraksi.
Rasional: meningkatkan relaksasi membantu
memfokuskan kembali perhatian dan dapat meningkatkan koping.
3.
Anjurkan klien untuk mengulang teknik tersebut apabila
nyeri timbul.
Rasional:
mengupayakan kemandirian pasien dapat mengontrol nyeri.
4.
Monitor tanda- tanda vital.
Rasional: nadi, tekanan
darah, dan pernapasan yang meningkat merupakan indikasi adanya nyeri.
5.
Kolaborasi pemberian analgetik.
Rasional:
analgetik membantu mengurangi rasa nyeri yang dirasakan.
2. Gangguan
mobilitas fisik berhubungan dengan efek anestesi.
Tujuan: setelah dilakukan tindakan
keperawatan diharapkan gangguan mobilitas dapat diatasi dengan kriteria hasil :
a. Klien menunjukan kemampuan
aktivitas.
Intervensi:
1.
Kaji
ulang tingkat aktifitas klien.
Rasional
: gangguan fungsi motorik bermacam macam, pada lokasi trauma mempengaruhi tipe
dan pemilihan intervensi.
2.
Ajarkan
tirah baring pada klien( latihan ROM).
Rasional : meningkatkan
aliran darah kesemua daerah.
3.
Libatkan
keluarga dalam ADL klien.
Rasional
: meningkatkan kekuatan otot dan sirkulasi, meningkatkan kontrol pasien dalam
situasi dan meningkatkan kesehatan diri langsung.
3. Resiko nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan anoreksia.
Tujuan: Setelah
dilakukan tindakan keperawatan diharapkan nutrisi
akan terpenuhi dengan kriteria hasil:
a. Nafsu makan meningkat.
b. Berat badan normal (ideal)
c. tidak ada tanda mal nutrisi.
Intrevensi:
1.
Kaji kebiasaan diit dan
masukan makanan.
Rasional:
mengidentifikasi kekurangan nutrisi.
2.
Berikan makanan yang
disukai pasien dengan porsi kecil tapi sering.
Rasional:
porsi lebih kecil dapat meningkatkan asupan.
3.
Catat berat badan dan
bandingkan dengan saat berikutnya.
Rasional: memberikan informasi tentang keadekuatan
masukan diit/ penentuan kebutuhan nutrisi.
4.
Awasi pemeriksaan laboratorium
yaitu Hb/ Ht dan elektrolit.
Rasional: indikator kebutuhan cairan/ nutrisi dan
keefektifan terapi dan terjadinya komplikasi.
5.
Kolaborasi dengan ahli gizi untuk diit klien.
Rasional:
perlu bantuan dalam perencanaan diit yang memenuhi kebutuhan nutrisi.
4. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan adanya insisi
pembedahan.
Tujuan: Setelah
dilakukan tindakan keperawatan diharapkan kebutuhan
cairan dan elektrolit akan terpenuhi dengan kriteria hasil:
a. Bebas dari tanda- tanda infeksi.
b. Tanda- tanda vital normal.
Intervensi:
1.
Awasi tanda vital.
Perhatikan demam, menggigil, berkeringat, perubahan mental, meningkatnya nyeri
abdomen.
Rasional:
dugaan adanya inveksi/ terjadinya sepsis, abses, peritonotis.
2.
Lihat insisi dan
balutan. Catat karakteristik drainase luka/ drein ( bila dimasukan ), adanya
eritema.
Rasional: memberikan deteksi dini terjadinya proses
infeksi, dan atau pemgawasan penyembuhan peritonitis yang telah ada sebelumnya.
3.
Pertahankan perawatan
luka setiap hari dan pertahankan balutan kering.
Rasional: melindungi pasien dari kontaminasi silang
selama penggantian balutan. Balutan basah bertindak sebagai sumbu retrograd,
memyerap kontaminan ekstrenal.
4.
Kolaborasi pemberian
antibiotik.
Rasional:
diberikan secara profilaktik dan untuk mengatasi infeksi
BAB III
PENUTUP
1.
Simpulan
Apendisitis adalah
peradangan dari apendiks vermiformis, dan merupakan penyebab abdomen akut yang
paling sering. Apenditis merupakan infeksi bakteri. Berbagai hal yang berperan
sebagai penyebabnya adalah (obstruksi lumen apendiks faktor yang diajukan
sebagai faktor pencetus kebiasaan makan-makanan rendah serat dan pengaruh
konstipasi, erosi mukosa apendiks karena parasit ).
2.
Saran
Karena apendisitis salah satunya disebabkan
karena kurang mengkonsumsi makanan yang banyak mengandung serat, maka kami
menyarankan pembaca banyak mengkonsumsi makanan yang mengandung banyak serat.
Selain itu infeksi karena cacing dapat di atasi denga mengkonsumsi obat cacing
untuk mengurangu perkembangbiakan cacing di dalam kolon.
DAFTAR
PUSTAKA
1. Brunner dan Sudarth.
2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 8, Volume 2,
Alih Bahasa dr. H. Y. Kureasa, Editor Monica Ester, SKp. Jakarta : EGC.
2. Carpenito , LJ. 2006.
Rencana Asuhan dan Dokumentasi Keperawatan Diagnosa Keperawatan dan
Masalah Kalaboratif , Edisi 10 . EGC : Jakarta.
3. Doenges Marilyn,
2000, Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman untuk Perencanaan dan
Pendokumentasian Perawatan Pasien, Edisi III, Jakarta : EGC.
4. Ester, Monica. 2002. Keperawatan
Medikal Bedah Pendekatan Sistem Gastrointestinal.EGC:
Jakarta.
5. Irianto Kus. 2004. Struktur
dan Fungsi Tubuh Untuk Paramedis. Yrama Widya : Bandung.
6. Inayah, Iin. 2004. Asuhan
Keperawatan pada Klien dengan Gangguan Sistem Pencernaan.Salemba Medika:
Jakarta.
7. Oswari, E.. 2005. Bedah
dan Keperawatannya. Balai Penerbit FKUI : Jakarta.
8. Rudolph, Abraham,
M.dkk..2007. Buku Ajaran Pediatri Rudolph, Volume 2, Edisi 20,
Buku Kedokteran. EGC : Jakarta.
9. R. Sjamsuhidajat, Wim de
Jong. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi II, Jakarta : EGC.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar